Peran Kunci Perempuan Menuju Indonesia Emas 2045

Minggu 25-08-2024,21:51 WIB
Oleh: tim redaksi

radarbengkuluonline.id - Di tengah hiruk-pikuk pembangunan yang terus bergerak maju, perempuan Indonesia berdiri di persimpangan sejarah. Visi Indonesia Emas 2045 menjadi cita-cita bersama, sebuah visi yang memandang Indonesia sebagai negara maju, berdaulat, dan berkelanjutan.

Namun, di balik ambisi besar ini, terselip satu pertanyaan yang menggelitik hati: Apakah perempuan telah diberikan tempat yang layak dalam perjalanan menuju visi ini?

Sampai saat ini, realitas menunjukkan bahwa perempuan masih berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dalam dunia kerja.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya mencapai 54,52%, jauh di bawah TPAK laki-laki yang mencapai 84,26%.

Ini menimbulkan pertanyaan yang mendasar: Mengapa perempuan masih terpinggirkan dalam kontribusi ekonomi yang seharusnya setara?

Sejak kecil, banyak dari kita tumbuh dengan cerita tentang Kartini, seorang pionir dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia.

Namun, lebih dari satu abad kemudian, mimpi emansipasi perempuan yang diimpikan Kartini masih jauh dari kenyataan.

Perempuan di Indonesia seringkali masih tersembunyi di balik beban ganda yang harus mereka pikulmengurus rumah tangga sekaligus bekerja.

Lirik lagu “Ibu Kita Kartini” yang sering kita dengar saat peringatan Hari Kartini mungkin menggambarkan semangat juangnya, namun realitasnya masih jauh dari ideal.

Pandangan tradisional yang memosisikan laki-laki sebagai pencari nafkah utama masih mendominasi, sementara perempuan meskipun berpendidikan tinggi, seringkali memilih untuk tidak bekerja atau hanya bekerja paruh waktu demi mengurus keluarga.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain yang memiliki pandangan serupa.

Pandangan bahwa laki-laki adalah “first breadwinner” atau pencari nafkah utama, seperti yang diungkapkan oleh Janssens (1997) dan Sear (2021), masih kuat mempengaruhi keputusan perempuan untuk berpartisipasi di dunia kerja.

Seringkali, perempuan baru akan bekerja jika kondisi ekonomi keluarga menuntutnya, dan bahkan jika mereka bekerja, mereka lebih sering berada di sektor informal yang memberikan upah lebih rendah dan jaminan kerja yang minim.

Perempuan yang bekerja di sektor informal sering kali terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diatasi. Mereka bekerja keras, namun tanpa perlindungan hukum dan akses yang memadai terhadap pendidikan dan pelatihan, kondisi mereka tidak banyak berubah.

Salah satu contoh adalah Siti, seorang buruh tani di Jawa Tengah, yang meskipun bekerja keras setiap hari, penghasilannya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Cerita seperti ini tidaklah langka di Indonesia, di mana banyak perempuan menghadapi tantangan serupa di sektor-sektor informal lainnya.

Kategori :

Terkait