Dugaan pelanggaran netralitas kepala desa ini bukan lagi sekadar isu.
Tetapi, sudah menjadi perhatian publik. Sejumlah kepala desa yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Provinsi Bengkulu secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada salah satu calon kepala daerah dalam Pilgub Bengkulu 2024.
Dukungan ini dipimpin langsung oleh Ketua Apdesi Provinsi Bengkulu, Gusmadi, dan didukung oleh pengurus Apdesi dari sembilan kabupaten dan satu kota di Bengkulu.
Pernyataan dukungan tersebut sudah tersebar di media sosial dan pemberitaan. Awal dugaan ini bermula di salah satu acara konsolidasi rakyat yang mendukung pasangan calon Helmi-Mian, yang diadakan pada Minggu, 15 September 2024 di Jalan WR. Supratman, Talang Kering, Kota Bengkulu.
Sikap dukungan terbuka dari para kepala desa ini jelas melanggar aturan netralitas yang telah diatur dalam undang-undang dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3.5.5/244/SJ tentang Netralitas Kepala Desa dan Perangkat Desa pada Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024.
Surat edaran tersebut kembali menegaskan pentingnya kepala desa bersikap netral dalam setiap tahapan pemilu dan Pilkada.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Dr. JT Pareke, MH, menegaskan, keterlibatan kepala desa dalam politik praktis, khususnya Pilkada, melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
“UU Desa secara tegas melarang kepala desa dan perangkat desa terlibat dalam mendukung salah satu kandidat di Pilkada. Larangan ini sudah jelas tertuang dalam undang-undang, dan aparatur desa seharusnya sudah paham akan hal ini,” ujar JT Pareke.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, khususnya dalam Pasal 29 Huruf g dan j, mengatur bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik serta terlibat dalam kampanye pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.
“Jika kepala desa terlibat aktif mendukung salah satu calon, itu artinya mereka melanggar undang-undang dan melanggar prinsip netralitas yang harus dipegang teguh,” tambahnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Pasal 30 ayat (1) menyatakan, kepala desa yang melanggar larangan tersebut akan dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Jika teguran ini tidak diindahkan, pada ayat (2) diatur bahwa kepala desa tersebut dapat diberhentikan sementara dan berpotensi diberhentikan secara permanen.