Rahasia Syukur Kepada Allah Swt

Jumat 08-11-2024,01:03 WIB
Reporter : Adam
Editor : Azmaliar Zaros

"Jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim: 7).

 

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa makna syukur yang dimaksud dalam penjelasan ayat ini mengandung makna antara lain ialah “menampakan”, dan ini berlawanan dengan kata kufur yang berarti “menutupi”.

Sehingga, pada hakikatnya syukur ialah menampakan nikmat dengan menggunakannya dengan sebaik mungkin dan sesuai dengan kehendak Sang pemberi yakni Allah SWT.

 

Lebih lanjut, beliau  memaparkan bahwa munculnya sikap kufur seperti rasa tidak puas hanya menyisakan perasaan tersiksa bagi jiwanya sendiri. Sikap ini sia-sia belaka, karena sama sekali tidak berpengaruh pada kebesaran dan kekayaan Allah SWT.

Sulaiman al-Bujairami menukil pendapat Qasim al-‘Abbadi, yang menyatakan bahwa ketika seorang hamba memanfaatkan semua anugrah Allah padanya dalam waktu bersamaan maka disebut Syakur (banyak bersyukur). Adapun seorang yang menfaatkannya dalam waktu yang berbeda-beda maka dinamai Syakir. 

 

Hadirin Ma’asiral Muslimin Jamaah Jumat Rakhimakumullah

 

Sementara itu, menurut Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Mafatihul Ghaib beliau menjelaskan bahwa kandungan utama dalam Surat Ibrahim ayat tujuh itu setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat diambil. Pertama, pada hakikatnya syukur merupakan ungkapan rasa pengakuan diri atas nikmat dari yang Maha Pemberi, yaitu Allah SWT.

Kedua, janji Allah untuk menambah kenikmatan bagi yang merasa bersyukur. Nikmat tersebut bisa berbentuk jasmani maupun rohani. Nikmat rohani ini jika benar-benar dirasakan maka akan mencapai maqam (derajat) tertinggi yakni cinta kepada-Nya.

 

Sedang nikmat jasmani ialah ketika seseorang selalu menyibukan diri sebagai bentuk rasa syukur, maka semakin banyak nikmat yang ia peroleh.

Ketiga, sikap kufur akan nikmat bisa menyebabkan rasa tersiksa. Rasa tersiksa ini muncul karena ia tidak tahu (tertutup) akan nikmat Allah, sehingga ia juga tidak benar-benar mengetahui Allah. Katidaktahuan itulah yang menurut ar-Razi sebagai siksa yang besar.

 

Kategori :