Pendangkalan alur pelabuhan ini berdampak signifikan terhadap sektor ekspor. Kapal-kapal besar yang membawa komoditas ekspor Bengkulu, seperti batu bara dan hasil perkebunan, mengalami kesulitan keluar masuk pelabuhan. Akibatnya, produksi ekspor Bengkulu terancam menurun drastis, yang secara langsung memengaruhi pendapatan daerah.
“Kita harus segera memperbaiki infrastruktur pelabuhan, tidak hanya dari segi kedalaman alur, tetapi juga fasilitas pendukung lainnya,” kata Rosjonsyah.
Sebelumnya General Manager PT Pelindo Regional 2 Bengkulu, S Joko, menyatakan bahwa Pelindo bersama Kementerian Perhubungan, Pemerintah Provinsi Bengkulu, dan pelaku usaha telah merancang solusi untuk mengatasi masalah ini. Salah satu langkah strategis adalah penetapan alur baru yang akan melibatkan Pelindo dan pihak swasta melalui sistem Joint Venture Company.
“Pendangkalan ini tidak hanya menghambat aktivitas pelayaran, tetapi juga meningkatkan biaya operasional kapal. Kami berharap rencana ini dapat segera terlaksana,” ujar Joko.
Penetapan alur dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan efisiensi transportasi laut di Pelabuhan Pulau Baai. Dengan peran strategis sebagai pintu gerbang distribusi barang di wilayah pesisir barat Sumatera, pelabuhan ini menjadi harapan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Bengkulu.
Joko menjelaskan, jika pendangkalan tidak segera diatasi, kapal-kapal besar tidak lagi dapat bersandar di pelabuhan yang dikenal memiliki lahan paling luas di Indonesia. Hal ini akan memengaruhi arus perdagangan dan distribusi barang, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor internasional.
“Pelabuhan Pulau Baai memiliki potensi besar untuk menjadi pusat ekonomi di pesisir barat Sumatera. Oleh karena itu, masalah pendangkalan ini harus diselesaikan dengan serius,” tegas Joko.
DPRD, pemerintah daerah, dan PT Pelindo diharapkan dapat berkolaborasi untuk menyelesaikan persoalan ini. Pendangkalan alur dan abrasi tidak hanya menjadi tantangan teknis tetapi juga masalah strategis yang membutuhkan perhatian semua pihak.