Penenang, Tapi Bukan Obat Terlarang
Ade Kelpin Saputra-Windi Junius-Radar Bengkulu
Lucu? Mungkin. Tapi lebih tepatnya getir. Rupanya, pasokan BBM di Bengkulu memiliki kepekaan politik yang luar biasa tinggi. Ia lancar ketika disorot kamera, tapi tersendat ketika hanya disorot rakyat.
Kita tidak butuh penenang musiman seperti ini. Yang kita butuh adalah kebijakan yang benar-benar menyembuhkan, bukan sekadar menenangkan sementara. Rakyat bukan pasien uji coba, dan Bengkulu bukan panggung sandiwara birokrasi.
Saya menyebut fenomena ini sebagai efek penenang. Karena setiap kali pejabat tinggi datang, pasokan BBM mendadak lancar. Tapi setelah mereka pergi, antrean kembali mengular—bahkan memakan badan jalan.
Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya? Masyarakat yang baru pulang kerja terpaksa antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan setengah jerigen bensin.
Banyak sopir angkutan yang menunda mencari nafkah, nelayan tidak bisa melaut, dan petani menunda mengolah lahan—semua karena sumber kehidupan bernama BBM ini tak lagi mudah dijangkau.
Ironisnya, pemerintah provinsi dan Pertamina justru sibuk saling melempar tanggung jawab. Yang satu minta maaf, yang lain berjanji mengevaluasi. Tapi apa artinya permintaan maaf tanpa tindakan nyata?
Yang rakyat butuh bukanlah ucapan belas kasihan, melainkan penyelesaian tuntas.
Sebagai mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat, dan terutama sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kami tidak bisa hanya diam.
Kami harus mengawal, menekan, dan mendesak agar pemerintah Bengkulu tidak lagi main-main dengan urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
