Potensi Energi Terbarukan Bengkulu Hanya 7.297 MW
RBO >>> BENGKULU >>> Potensi energi terbarukan yang terdapat di Provinsi Bengkulu mencapai 7.297 Megawatt (MW) atau 7,2 Gigawatt (GW), namun baru dimanfaatkan sebesar 259 MW, yang didominasi oleh pembangkit tenaga air.
Demikian diungkapkan Jannata Giwangkara, Program Manager Energy Transformation Institute for Esential Service Reform (IESR) dalam diskusi bertajuk Beban Listrik, Potensi Energi Bersih dan Perluang Desentralisasi Energi yang digelar secara virtual oleh Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, kemarin.
Berdasarkan studi yang dilakukan pada 2018 itu, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 431.745 Megawatt. Namun kapasitas terpasang atau yang baru dimanfaatkan untuk listrik hanya 6.830 Megawatt. Secara umum menurut Jannata, potensi energi terbarukan di Indonesia belum dikembangkan optimal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Terutama Vietnam yang dalam dua hingga tiga tahun terakhir telah membangun 3 GW energi terbarukan.
Sementara secara global di seluruh dunia pada 2009-2019, rata-rata pembangkit yang ditambahkan lebih besar energi terbarukan khususnya tenaga surya, angin dan air. Negara terdepan mengembangkan energy surya adalah China, India, Amerika dan Jerman.
Dia mencontohkan, China mampu membangun 65 GW dalam setahun, kapasitas ini setara dengan seluruh pembangkit di Indonesia.
Sementara itu, Dosen Fakultas Teknik Universitas Bengkulu, Khairul Amri mengatakan, pengembangan energi listrik di Bengkulu harus diarahkan ke energi terbarukan. Karena, potensinya tinggi. Sekaligus, pertimbangan pelestarian lingkungan hidup. Namun, yang menjadi tantangan adalah teknologi Indonesia tertinggal dari negara lain. Seperti China dan India.
"Di sinilah peran pemerintah untuk mendukung pengembangan teknologi yang fokus pada pengembangan energi terbarukan," katanya.
Menurutnya, proyeksi dari ESDM untuk periode 2019-2035, Indonesia akan membutuhkan listrik sebesar 173 GW. Dimana sumber listrik fosil PLTU batu bara mencapai 51 GW, dan PLTGU 61 GW. Sementara tenaga air sebesar 34 GW, panas bumi 9 GW, maka total EBT baru 50 GW. Artinya, dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, bauran energi terbarukan hanya 30 persen dari total pembangkit secara nasional.
Disisi lain, Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bengkulu, Sumardi mengatakan, kebijakan pembangunan energi yang tersentralisasi di pemerintah pusat membuat legislatif sulit megontrol kebijakan pengembangan energi di daerah. "Kebijakan secara nasional, memang harusnya menutup pintu untuk pembangkit yang merusak lingkungan. Seperti PLTU batu bara, dan mengembangkan energi yang dampak lingkungannya tidak terlalu besar," terangnya.
Apalagi, pembangunan energi menurut politisi lokal ini, memang seharusnya bersandar pada potensi daerah. Seperti Bengkulu yang kaya potensi energi surya, air dan gelombang laut. Ia mengatakan, proyek energi fosil seperti PLTU batu bara seharusnya tidak lagi dikembangkan. Karena, fakta di lapangan meninggalkan kerusakan yang massif. Seperti bekas pertambangan di wilayah hulu-hulu sungai.
"Kami di DPRD, sepakat proyek PLTU batu bara baru tidak perlu ditambah lagi di Bengkulu. Kalau pun menambah pembangkit, arahkan seluruh investor ke energi terbarukan," tegasnya.
Sedangkan menurut Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar, memang diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk mengembangkan energy terbarukan. Sebab, saat ini politisi yang ada saat ini berada pada pihak pendukung energi fosil .
Hal ini ditunjukkan, dengan semangatnya anggota DPR-RI mengesahkan UU mineral dan batu bara yang memberikan karpet merah pada pengusaha energi fosil, khususnya batu bara. Dukungan politik untuk energi terbarukan ini, perlu diperkuat. Sehingga pengembangannya bisa massif. Tapi, melihat kondisi saat ini politisi negeri ini adalah para pendukung energi fosil," tutupnya. (ach/idn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: