Catatan Dahlan Iskan : Killing Softly
BATU HIJAU, energi hijau. Titik. Begitulah. Rekor terbesar pemasangan tenaga surya terjadi di Sumbawa Barat: 25 MW. Pemiliknya: PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Jenis usahanya: tambang emas. Lokasinya di Batu Hijau, Sumbawa Barat yang menghadap ke laut selatan.
Kalau Anda masih merasa informasi ini terlalu muter-muter, baiklah terang-terangan saja: lokasi itu dahulu disebut Newmont.
Kini Newmont sudah berubah nama menjadi Newmont Goldcorp. Yakni sejak membeli tambang emas terbesar di Kanada: Goldcorp. Ia sudah lepaskan tambang-tambang emas kecil seperti di Sumbawa. Newmont ingin menjadi penambang emas terbesar di dunia. Dengan memproduksi emas 7,9 juta ounce per tahun.
Yang di Sumbawa itu sudah dibeli oleh PT Medco milik pengusaha asal Gorontalo Arifin Panigoro. Grup Medco itulah yang membangun solar cell 25 MW tersebut. Itu hampir sama dengan seluruh listrik di Provinsi Maluku Utara.
Memang Disway pernah menulis rekor terbesar pemasangan solar cell dipegang PT PJB –anak perusahaan PLN: 100 MW. Lokasinya: di danau Cirata, Jabar. Di dekat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang juga dimiliki PJB. (Disway 5/1/2021).
Tapi itu baru akan. Sampai sekarang masih akan.
Belum lagi terlaksana rekor baru itu sudah pecah. Oleh proyek 1.000 MW. Hampir sama dengan keperluan listrik seluruh Kalimantan.
Lokasi proyek 1000 MW itu belum jelas. Mungkin di Batam. Dugaan di Batam itu berdasar publikasi bahwa hasil listriknya akan sepenuhnya diekspor ke Singapura. Ekspor listrik hijau.
Bukan main hebatnya. Kalau jadi kenyataan. Pemilik proyek itu juga anak perusahaan PLN: Indonesia Power.
Tapi, sekali lagi, juga masih akan.
Sedang yang 25 MW di Batu Hijau tadi sudah sedang terjadi. Bulan depan sudah bisa beroperasi.
Sumbawa memang salah satu pulau besar peminum BBM terbanyak –sampai PLN mabuk berkepanjangan. PLTU di Bima sudah bermasalah sejak belum dibangun –dan saya yang datang kemudian juga gagal menyelesaikan masalahnya.
Kini sebenarnya ada jalan mudah dan murah untuk Sumbawa: bangun saja kabel listrik bawah laut. Dari Lombok Timur. Selat Sumbawa itu hanya 18 Km. Pun tidak dalam. Arusnya juga tidak sederas di Selat Bali. Kebetulan sudah ada PLTU di Lombok Timur –milik seseorang yang Anda tahu itu.
Tapi Amman Mineral sudah punya jalan keluar sendiri. Ia tidak mau mabuk berkepanjangan. Ia putuskan cepat: bangun saja PLTS besar-besaran. PLN pun kehilangan pelanggan besar potensial.
Era PLTS memang kian terbukti. Pun ketika harga baterai masih mahal.
Amman Mineral memang tidak memerlukan baterai. Tambang emasnya hanya beroperasi di siang hari. Listrik dari matahari bisa langsung dipakai. Terutama untuk menggerakkan conveyor puluhan kilometer panjangnya. Ban berjalan itu mengangkut tanah tambang yang mengandung emas. Untuk diproses di pabriknya.
Apalagi matahari di Sumbawa lebih berkualitas dibanding di Jawa. Hanya kalah dari matahari di Flores atau Timor atau Ambon.
Kian ke timur, kualitas matahari memang kian tinggi –dari sudut kandungan listriknya. Ibarat skala 1-10, matahari di Sumbawa menghasilkan listrik 6. Di Flores 7. Di Ambon 8. Di Jakarta 5. Di Padang 4.
Angka-angka resminya kita tunggu dari Mirza –atau siapa pun.
Kenapa tambang batu bara tidak ikut cara tambang emas?
Beda. Tambang batu bara itu adanya di Kalimantan dan Sumatera. Kualitas matahari di sana masih harus ditingkatkan. Dan lagi yang diangkut di sana kan batu bara. Batu bara itu sendiri kan energi. Lebih murah kalau sebagian dari yang diangkut itu saja yang dibakar.
Sedang di tambang emas, yang diangkut itu, dibakar 33 kali pun tetap emas.
Era solar cell memang benar-benar terjadi. Antara lain juga berkat ilmuwan dan pelaku bisnis sudah tidak bertengkar lagi.
Pertengkaran itu panjang sekali. Lima tahun lalu sudah berakhir: thin film kalah.
Kristal yang menang.
Saya pernah ngotot agar BUMN segera mendirikan pabrik solar cell. Delapan tahun lalu. Untuk merebut masa depan. Sudah saya putuskan: lokasi pabrik tekstil PT Industri Sandang –sudah mati puluhan tahun– bisa diubah untuk industri solar cell.
Tidak bisa jalan. Pabrik itu batal dibangun. Bingung. Mau pilih teknologi yang mana. Kristal? Thin film? Waktu itu para ahli memang masih saling klaim sebagai yang terbaik. Memilih salah satunya takut masuk kategori salah investasi.
Saya pun expired.
Akhirnya thin film tidak banyak ditemukan lagi. “Lebih 90 persen solar cell kini menggunakan kristal,” ujar Anthony Utomo, dirut PT Utomodeck Metal Works. Perusahaan inilah yang memenangkan tender sistem solar cell di Batu Hijau. Anthony baru 32 tahun. Lulusan Seattle, USA. Anthony mewarisi perusahaan bidang atap dari ayahnya. Ia pun mengembangkan bisnis atap itu menjadi ”atap ber-solar cell”.
Hampir saja Anthony terperosok ke kasus salah investasi. Perusahaan besar dari Tiongkok mengajak Anthony bekerja sama: membangun pabrik solar cell dengan teknologi thin film. Anthony sudah setuju. Ia melihat calon partner itu ”raja thin film” di Tiongkok. Belum sampai rencana itu berjalan pabrik tersebut tutup. Teknologi thin film benar-benar kalah kualitas.
“Saya bersyukur sekali bisa selamat dari salah investasi,” ujar Anthony.
Selesainya perdebatan teknologi solar cell itu membuat skala produksi kristal bisa sangat besar. Investasi bisa lebih fokus. Lebih hemat. Harga solar cell bisa lebih murah.
“Dibanding lima tahun lalu sudah turun 40 persen,” ujar Imelda Harsono, direktur PT Samator. Anda sudah tahu: Samator adalah produsen oksigen terbesar di Indonesia. Ketika masih dipegang almarhum ayahnyi, Samator memasang solar cell 1 MW. Yakni di atap pabrik oksigennya yang di Surabaya.
Sang ayah, Arief Harsono, meninggal dunia kekurangan oksigen akibat Covid-19 pada 2 Juli lalu. “Sekarang solar cell sudah begitu murah. Kami akan pasang lagi 1 MW lagi,” ujar Imelda.
Seminggu sebelum itu saya juga ke pabrik keramik Platinum. Saya lihat ada hamparan solar cell di atap pabriknya yang berhektare-hektare itu. “Baru setahun lalu kami pasang. Kami coba dulu,” ujar Sutatno Sudarga, pemilik pabrik itu. Platinum tahun ini berumur 50 tahun. Masih terus berkembang. Padahal serbuan keramik impor ibarat tentara Amerika menyerbu Afghanistan.
Bagaimana dengan uji coba solar cell-nya? “Sejauh ini baik-baik saja. Hemat biaya listrik 8-9 persen,” ujar Sutatno.
Meski uji coba, tapi sudah terlihat masif. Ternyata memang besar: 5 MW. Itu baru di satu pabrik. Padahal masih ada 4 pabrik lagi yang atapnya masih ”nganggur”. Berarti masih bisa tambah 10 MW lagi.
Meski belum ada power bank murah solar cell mulai menggerogoti PLN. Tidak cepat tapi nyata. Killing softly. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: