Kemuliaan Bulan Sya’ban dan Persiapan Menyambut Ramadan 1444 H
Syukran Jayadi, S.Sos.I, M.Pd.I-Adam-
Oleh : Ustadz Syukran Jayadi, S.Sos.I, M.Pd.I
(Ketua Pokjaluh Kota Bengkulu)
Dari : Masjid Besar Al-Amin, Kelurahan Kandang, Kecamatan Kampung Melayu
Jamaah Salat Jumat yang dimuliakan Allah SWT
RADARBENGKULU.DISWAY.ID - Alhamdulillah puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT karena pada hari ini kita telah berada di Jumat kedua di bulan sya’ban 1444 H dan In shaa Allah lebih kurang 2 minggu lagi kita akan bertemu dengan bulan Ramadan 1444 H.
Jamaah Salat Jumat Rahimakumullah
Secara bahasa, Sya'ban berasal dari kata syi'ab yang artinya jalan di atas gunung. Makna ini selaras dengan posisi bulan Sya’ban yang menyongsong bulan Ramadan.
Hal ini merupakan kiasan bahwa bulan kedelapan dalam kalender Hijriyah tersebut merupakan momen yang tepat bagi kita sebagai seorang muslim untuk menapaki jalan kebaikan secara lebih intensif, lebih serius dan mujahadah (penuh kesungguhan) dalam mempersiapkan diri menyambut bulan paling mulia yang dikenal sebagai bulan maghfirah, bulan rahmah dan bulan yang penuh dengan keberkahan, yaitu bulan Ramadhan 1444 H.
Posisi bulan Sya’ban yang terletak di antara bulan Rajab dan Ramadan seringkali kurang mendapatkan perhatian lebih dibanding dua bulan mulia yang menghimpitnya tersebut. Pada Rajab, keutamaan-keutamaan seputar puasa dan amalan lainnya kerap kita dengar.
Di bulan Rajab pula kita mengenang peristiwa dahsyat yang dialami Rasulullah SAW dengan pristiwa Isra’ dan Mi’raj. Sedangkan bulan Ramadan lebih hebat lagi yaitu orang-orang seakan-akan menjadi manusia baru, berburu fadhilah dan pahala berlipat di bulan suci tersebut.
Maka yang kita lakukan saat memasuki bulan Rajab dan Sya’ban adalah seperti yang dilakukan dan dicontohkan Rasulullah SAW, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim, Rasulullah memperbanyak doa.
“Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadan.”
Hadirin jamaah Jumat yang dirahmati Allah SWT,
Bukti dari mulianya bulan Sya’ban, bisa kita lihat dari sejumlah peristiwa penting bersejarah di dalamnya. Peristiwa-peristiwa ini bisa dipandang bukan semata sebagai fakta historis atau sejarah, tapi juga pertanda bahwa Allah memberikan perhatian spesial terhadap bulan ini.
Pertama, bulan Sya’ban dikenal sebagai bulannya Sholawat. Karena Allah SWT pada bulan ini menurunkan ayat perintah bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Ini sebagaimana yang tercantum dalam Surat al-Ahzab ayat 56: “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Mayoritas ulama, khususnya dari kalangan mufassir, sepakat bahwa ayat ini turun di bulan Sya’ban. Secara bahasa, shalawat berakar dari kata shalat yang berarti doa.
Dalam ayat tersebut ada tiga shalawat. Yaitu shalawat yang disampaikan Allah, shalawat yang disampaikan malaikat, dan (perintah) shalawat yang disampaikan umatnya Rasulullah SAW.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang mengutip pernyataan Imam Bukhari menjelaskan bahwa, “Allah bershalawat” bermakna Dia memuji Nabi, “Malaikat bershalawat” berarti mereka sedang berdoa, sementara “manusia bershalawat” selaras dengan pengertian mengharap berkah dan Syafa’atnya.
Kedua, bulan Sya’ban juga menjadi sejarah dimulainya Ka’bah menjadi kiblat umat Islam, yang sebelumnya adalah Masjidil Aqsha.
Peristiwa peralihan kiblat ini ditandai dengan turunnya ayat 144 dalam Surat al-Baqarah yang artinya: “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
Ketika menfsirkan ayat ini, Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.
Kiblat menjadi simbol tauhid karena seluruh umat Islam menghadap pada satu tujuan. Beralihnya kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram juga menegaskan bahwa Allah tidak terikat dengan waktu dan tempat.
Hal ini ditunjukkan dengan sejarah perubahan ketetapan kiblat yang tidak mutlak dalam satu arah saja. Umat Islam tidak sedang menyembah Ka’bah ataupun Masjidil Aqsha, melainkan menyembah Allah SWT.
Ketiga, bulan Sya’ban merupakan saat diturunkannya kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Imam Abu Zakariya an-Nawawi dalam Al-Majmu‘ Syarah Muhadzdzab menjelaskan bahwa Rasululah menunaikan puasa Ramadan selama sembilan tahun selama hidup.
Itu dimulai dari tahun kedua Hijriah setelah kewajiban berpuasa tersebut turun pada bulan Sya'ban yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya, “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaima diwajibkan atas orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.”
Puasa merupakan kegiatan penting guna meredam nafsu yang sering menuntut dimanjakan. Melalui puasa, manusia ditempa secara ruhani untuk menahan berbagai godaan duniawi, bahkan untuk hal-hal yang dalam kondisi normal (tak berpuasa) halal.
Menahan diri dari hal-hal halal seperti makan, minum, berhubungan dengan istri, menjadi sinyal kuat bahwa sesungguhnya ada yang lebih penting dari kenikmatan dunia yang fana ini, yakni kenikmatan akhirat, berjumpa dengan Allah SWT.
Bulan Ramadan merupakan bulan paling mulia di antara bulan-bulan lainnya. Hal ini berarti Sya’ban merekam sejarah penting “diresmikannya” kemuliaan Ramadan dengan difardhukannya puasa bagi kaum mukminin selama sebulan penuh.
Sya’ban menjadi tonggak menyambut bula suci sebagai anugerah besar dari Allah yang melipatgandakan pahala segala amal kebaikan di bulan Ramadan.
Rasulullah SAW memberikan teladan kepada kita bahwa beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban sebagaimana diceritakan oleh Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha: “Tidaklah aku melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadan dan aku tidak melihat beliau berpuasa sebanyak pada bulan Sya’ban” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW juga menjelaskan kepada kita mengapa beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban seperti disampaikan oleh sahabat Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhu: “Usamah bin Zain bertanya: Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa sebanyak pada bulan Sya’ban.
Nabi bersabda: “Sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia, yang jatuh antara Rajab dan Ramadan.
Sya’ban juga bulan diangkatnya amal perbuatan secara umum (yang dilakukan selama setahun) ke suatu tempat di langit yang dimuliakan oleh Allah Sang Pemilik alam semesta, dan aku senang jika amal perbuatanku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi)
Hadirin Jamaah Jumat Masjid Al-Malik Rahimakumullah
Selain ketiga bukti kemulian bulan sya’ban tersebut, para ulama salaf juga memberikan keteladanan kepada kita bahwa jika bulan sya’ban telah tiba, mereka banyak membaca Al-Qur’an serta menunaikan zakat mal untuk membantu orang-orang mempersiapkan bekal memasuki Ramadan.
Mereka juga meninggalkan berbagai kesibukan duniawi dan beralih untuk bersiap-siap menyambut bulan suci Ramadan. Di bulan Sya’ban, mereka memperbanyak puasa, dzikir dan salat malam. Mereka menamakan Sya’ban sebagai syahrul qurra’ (bulan para pembaca Al-Qur’an).
Hadirin Jamaah Masjid Al-Malik yang dirahmati Allah
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang tidak menyia-nyiakan bulan Sya’ban, meski di tengah kesibukan duniawi yang luar biasa.
Khatib Al-faqir mengajak kepada jamaah sekalian untuk menyisihkan waktu untuk meningkatkan kedekatan kita kepada Allah, melalui kontemplasi atau perenungan atau dalam bahasa agama dikenal dengan istilah muhasabah dengan cara memperbanyak dzikir dan Istighfar, memperbanyak sholawat kepada Rasulullah SAW, memperbanyak membaca Al-Qur’an, menyiapkan Infaq terbaik kita dan amal kebaikan lainnya untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan 1444 H yang penuh kemulian, ampunan dan keberkahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: