Jangan Hanya Fokus Temui Para Tokoh, Suara Gen Z Juga Menjadi Penentu Kemenangan di Pilkada

Jangan Hanya Fokus Temui Para Tokoh, Suara Gen Z Juga Menjadi Penentu Kemenangan di Pilkada

Jangan Lengah, Suara Gen Z di Pilkada Serentak Bisa Menjadi Penentu Kemenangan -Poto ilustrasi-

radarbengkuluonline.id - Fenomena para calon kepala daerah menemui sejumlah para tokoh memang kerap terlihat.

Namun perlu diingat, bahwa penentu kemenangan di pilkada juga datang dari generasi Z. 

Bagi calon kepala daerah yang piawai maka suara dukungan dari generasi Z berpotensi membawa kemenangan di pilkada.

BACA JUGA:Foto Sapuan-Wasri di Surat Suara Pilkada Mukomuko Tampil Beda dari Paslon Lain

BACA JUGA:63.794 Investor Pasar Modal di Bengkulu dengan Transaksi Rp 156 M, Didominasi Generasi Z Bengkulu

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 27 November 2024, peran kelompok pemilih muda, khususnya Generasi Z (Gen Z), diprediksi menjadi salah satu faktor penentu dalam hasil akhir pemilihan.

 Generasi yang lahir antara 1997 hingga 2012, dengan rentang usia 17 hingga 27 tahun, tidak hanya memiliki jumlah yang signifikan dalam daftar pemilih, tetapi juga memiliki karakteristik unik yang membuat mereka menjadi kantong suara krusial.

Namun, untuk meraih dukungan Gen Z, para calon harus memahami dengan baik kebutuhan dan pola pikir kelompok ini, yang sering kali memiliki pandangan skeptis terhadap dunia politik.

BACA JUGA:Kasus Dugaan Pelanggaran Netralitas Kades Menjelang Pilgub Bengkulu 2024 Diteruskan ke Mendagri

BACA JUGA: Jelang Pilgub Bengkulu 2024, Mulai Muncul Persoalan Catut-Mencatut Nama dan Pemalsuan Tanda Tangan

Menurut Dr. Alfarabi, MA, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bengkulu, pendekatan terhadap Gen Z tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya.

“Generasi Z adalah potensi besar bagi para kandidat, tetapi cara pendekatan yang diterapkan harus berbeda,” jelasnya.

 Salah satu tantangan utama adalah rendahnya pendidikan politik yang diterima oleh kelompok ini di sekolah.

“Mereka tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam pendidikan politik, terutama di tingkat sekolah menengah atas (SMA). Akibatnya, banyak dari mereka memandang politik sebagai sesuatu yang jauh dari kehidupan sehari-hari, atau bahkan melihatnya sebagai sesuatu yang kotor dan penuh janji palsu,” tambah Alfarabi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: