Bebas Tapi Represi

Jumat 19-03-2021,18:54 WIB
Reporter : radar
Editor : radar

"Jika kamu mulai merasa takut mengkritik pemerintah atau aparat di FB, IG, Twitter dan lain sebagainya. Terus kalau mendengar ada orang yang dijerat UU ITE, mulai ngerasa cemas. Maka di titik itulah, pertanda kebebasan berekspresi mu terancam." Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo.

RBO, BENGKULU - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu, secara kelembagaan memang memiliki salah satu nilai yang diusung yakni kebebasan ekspresi. Bagi AJI, percuma memperjuangkan kebebasan pers, jika kebebasan ekspresi nyatanya ditinggalkan. Dari itu, AJI menempatkan kebebasan berekspresi sebagai salah satu nilai yang harus di dukung, perjuangkan dan bela. Kebebasan berekspresi. Secara prinsip adalah hak siapa pun untuk bisa mencari, menerima, menyebarkan informasi, gagasan dalam bentuk apa pun dan cara apa pun. Jadi, bisa saja dalam bentuk ekspresi lisan, cetak, audiovisual, ekspresi budaya, artistik maupun politik.

Hak ini juga mencakup kebebasan kita untuk berserikat, bergabung dengan organisasi atau kelompok. atau parpol. Termasuklah jika ingin berdemonstrasi atau hadir dalam pertemuan publik. Bahkan lebih jauh, spektrum atas hak ini juga melingkupi mengenai kebebasan kita untuk berpikir, berkeyakinan, dan sampai ke beragama.

Negara kita. Secara ketentuan. Telah mengakui hak kebebasan berekspresi. Ia ada dalam konstitusi UUD 1945, dalam TAP MPR, dalam UU tentang HAM dan beberapa ketentuan lain 1. Lalu bagaimana secara internasional? Jelas, kebebasan ekspresi, juga telah menjadi sebuah komitmen yang tak bisa diremehkan. Coba lihat di Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), kemudian di Resolusi Majelis Umum PBB 48/121, Deklarasi HAM ASEAN, Viena dan lainnya 2.

Jadi singkatnya, hak kebebasan berekspresi. Memang bukan hal baru. Ia sudah diakui sejak lama sekali, dan wajib dilindungi. Karena itu, tidak boleh dicabut atau tercerabut, dikesampingkan atau diremehkan siapa pun dan oleh apa pun. 1. Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan (TAP) MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 25 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (bagian Menimbang) 2. Resolusi Majelis Umum PBB 48/121 tentang Deklarasi Vienna dan Program Aksi bagian ke I angka 18, Deklarasi HAM ASEAN, dalam (a) Prinsip Umum No. 3, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Secara prinsip, AJI bukan hendak menyelaraskan dengan semangat AJI. Namun kami akan mencoba menyampaikan beberapa hal yang mungkin bisa jadi renungan dan mungkin juga sebuah informasi untuk kita bersama. Baik. Kami akan coba menyampaikan beberapa fakta dan data.

Pertama, mengenai kondisi kebebasan berekspresi secara keseluruhan. Tahun 2020, sebuah lembaga riset Economist Intelligence Unit 3 yang meneliti mengenai kondisi Indeks Demokrasi di Indonesia. Menemukan bahwa kebebasan sipil di Indonesia pada tahun 2020, menurun. Bahkan terburuk sejak 10 tahun terakhir (2010-2020). Dengan skor 5.59, jauh drop dibanding tahun 2010 dengan skor diatas 7.00.

Menurut kajian Freedom House 4, kebebasan berpendapat Indonesia tak pernah bebas sepenuhnya sepanjang 2015-2019. Indonesia bahkan tidak pernah mencapai angka penilaian 70 dari 100. Yang teranyar, Indonesia hanya mendapat skor 62.

Lalu ada riset AJI 5, sepanjang 2019 hingga 2020. Terjadi eskalasi kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dari monitoring, tercatat ada 53 kasus kekerasan fisik dan meluas juga hingga ke serangan digital. Berupa doxing, peretasan dan lain sebagainya. Dari riset ini juga menemukan bahwa polisi sebagai pelaku kekerasan terbanyak terhadap jurnalis.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dalam Catatan Hari HAM Sedunia 2020 6, menuliskan bahwa selama setahun terakhir kebebasan berekspresi di Indonesia makin menyusut. Indonesia, dalam pandangan KontraS justru sedang bergerak lagi ke arah Otoritarianisme pada era Soeharto, yang banyak melakukan pembatasan ruang masyarakat sipil. 3. https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2019/indonesia 4. https://www.dw.com/id/indeks-demokrasi-indonesia-catat-skor-terendah-dalam-sejarah/a-56448378 5. https://aji.or.id/upload/article_doc/AJI_Laporan_Tahunan_2020.pdf 6. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201210175623-20-580640/catatan-hari-ham-kontras-kebebasan-berekspresi-diberangus

Kemudian ada juga dari laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dalam amatan mereka sepanjang 2019-2020, ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia. Kasus itu berupa, pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan (26%), pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa (25%), pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital (17%), Pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi (16%), serta pelanggaran terhadap data pribadi (16%).

Bahkan, yang mengejutkannya lagi tercatat ada 3.539 orang yang ditangkap secara sewenang-wenang saat menyampaikan pendapat di muka umum khususnya aksi penolakan omnibus law Cipta Kerja. Angka itu, justru lebih kecil dari pengakuan kepolisian yang menyebut ada 5.918 orang yang diamankan terkait aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja 7. Angka ini jelas belum mencantumkan Nining Elitos 8, aktivis perempuan pemimpin para buruh asli kelahiran Bengkulu yang diperiksa baru-baru ini. Termasuk, kasus lain yang tak muncul di permukaan atau tak terpantau kita.

Kondisi pelik lain, juga terjadi di dunia maya. Beberapa laporan riset menemukan. Kita memang sedang dalam kondisi tidak baik untuk menjaga kebebasan berekspresi di dunia maya. Beberapa catatan itu, yakni dari:

Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi mencatat sejak UU ITE diundangkan pada 2008 sampai 31 Oktober 2018, terdapat sekitar 381 korban UU ITE. Sekitar 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian. Sementara untuk tahun 2020, ada 84 kasus pemidanaan warganet di mana 64 di antaranya terkena jerat UU ITE. Dalam praktiknya banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat dan pemodal 9, 10.

7. https://harianterbit.com/read/128883/YLBHI-3359-Orang-Ditangkap-dengan-Sewenang-wenang 8. https://www.merdeka.com/peristiwa/tersangkut-masalah-unjuk-rasa-ketum-kasbi-nining-elitos-diperiksa-polda-metro.html 9. https://carnegieendowment.org/2020/11/17/indonesia-s-shrinking-civic-space-for-protests-and-digital-activism-pub-83250 10. https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk

Tentu, sejumlah fakta di atas masih belum komprehensif. Ada banyak sekali yang mungkin belum terangkum. Meski begitu, point penting yang ingin kami garis bawahi adalah bahwa hari ini dan bukan tidak mungkin ke depannya, hak kita khususnya mengenai kebebasan ekspresi akan terus terancam.

Negara kita sedang tidak baik-baik. Mereka hari ini lebih mengedepankan hukum pidana dan penegakan hukum untuk membungkam kelompok kritis. Ini mengkhawatirkan. Lihat saja, ketika masa pandemi korona merebak. Kekhawatiran ini bisa kita lihat lebih telanjang lagi.

Lah, bayangkan saja. Sejak diumumkannya kasus pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah produk hukum sebagai upaya penanganan pandemi COVID-19 yang berdampak pada kebebasan masyarakat sipil 11, diantaranya:

• Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Keppres No. 11/2020) • Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PP No. 21/2020) • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) (Permenkes RI No. 9/2020)

Dan tentu saja, ini belum ditambah dengan instrumen dari kepolisian seperti; (1) Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona; (2) Surat Telegram ST/1100/IV/HUK.7.1./2020; dan (3) Surat Telegram ST/1098/IV/HUK.7.1./2020. Dan sejak itu lah, hingga kini bergulir berbagai macam razia jalanan dan bahkan di internet akhirnya jadi tambah gencar 12, 13.

11. https://lokataru.id/pengkerdilan-ruang-sipil-di-tengah-pandemi/ 12. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200331135514-12-488694/polisi-bubarkan-11145-kerumunan-massa-dengan-dalih-corona 13. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200813164500-20-535482/habis-dihempas-corona-kritik-dibalas-penjara

Fenomena ini, jelas bukan hal yang bisa kita anggap biasa saja. Kita butuh bersatu untuk mengawal hak kita. Soalnya bukan apa, ketika negara lain sudah tidak mempopulerkan lagi pasal-pasal pidana untuk kebebasan berekspresi. Di kita justru makin kencang dan mengkhawatirkan.

Kita mesti belajar dari Honduras, Argentina, Paraguay, Kosta Rika, Peru, Guatemala, Republik Afrika Tengah, Kroasia, Ghana, Uganda, Jordania, Moldovia, Ukraina, Australia, Meksiko, Macedonia, Nederland, Kamboja, Irlandia, dan Inggris, yang sudah menghapus pasal pidana yang termaktub di UU mereka yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi 14.

Negara ini, mestilah memastikan bahwa pendapat, karya atau ungkapan kreatif yang selama ini kerap sekali dianggap sebagai kejahatan. Harus di-dekriminalisasi. Tak patut lagi di zaman kini, segala hal yang terkait pencemaran nama baik, penistaan, fitnah, penghinaan, dan kabar bohong (defamation, libel, slander, insult, false news) harus dihapus dari UU pidana.

Kalaupun masih dipertahankan, sanksinya tidak lagi berupa hukuman badan, melainkan denda dan mesti proporsional. Bukan apa, perkara seperti ini kadang sukar dibuktikan secara faktual karena sering kali lebih merupakan pendapat, bukan pernyataan fakta. Terus sifatnya relatif atau sangat bergantung pada perasaan dan pendapat yang subjektif, multi-Interpretable atau menimbulkan banyak penafsiran dan pastinya tidak menimbulkan kerusakan yang permanen.

Cukup sudah Nining Elitos yang diperiksa lantaran dikaitkan dengan protokol pandemi. Atau si mahasiswa asal Slawi yang dicokok baru-baru ini, cuma karena menyindir Gibran si Wali Kota Solo 15. Kalau begini terus. Mau dibawa kemana cita-cita demokrasi. Generasi kita butuh kebebasan berpikir, berpendapat dan bersuara. Bukan dihantui kecemasan terus menerus. Besok-besok kita akan melahirkan generasi bantut. 14. https://nasional.kompas.com/read/2009/09/09/21182890/pasal.pencemaran.nama.baik 15. https://www.kompas.tv/article/156095/tanpa-aduan-kasus-ite-polisi-tak-berhak-tangkap-pengkritik-gibran

Diskusi berlangsung sangat menarik dengan menghadirkan Aktivis Perempuan Uli Siagian, Azhar Marwan Pengamat Masalah Sosial, Sudi Sinarmata Ketua GMNI Bengkulu, Dengan Pemantik Diskusi Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo dipandu oleh Atma Yuda, dan dihadiri para aktivis dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, serta peforman art, Pusi oleh Andes Beta dan musikalitas dari UKM Musik UMB, di Aula Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Bengkulu, Kamis Malam, 18 Maret 2021 berlangsung seru. Tema diskusi “Bebas Tapi Represi” sejak dimulai pukul 20.05 WIB hingga pukul 22.07 WIB. Masing-masing pihak menyoroti soal UU ITE, kebebasan berekpresi, hingga kekerasan aparat (negara) terhadap warganya, serta adanya hukum yang tebang pilih yang sedang terjadi dinegara ini.

Jika pelanggaran itu dilakukan oleh Pejabat Negara, maka hukum seakan mati dan tak berdaya, namun bila pelanggaran itu dilakukan oleh warganya maka hukum itu seolah-olah sangat tajam dan sanksi keras diterapkan. (rls)

Tags :
Kategori :

Terkait