BACA JUGA: Bengkulu Utara Hadirkan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial
Ibu guru terdiam beberapa saat. Ia kebingungan. Bagaimana dia bisa mengajar seorang tuna rungu wicara.
"Bu, maaf Wahyu gak bisa ngomong sama dengar buk," ucap seorang ibu-ibu muda yang tiba-tiba masuk keruangan kelas menjelaskan situasi murid laki-laki yang bernama Wahyu itu.
"Loh ibu kok gak dimasukin ke sekolah khusus untuk anak seperti Wahyu. Saya bingung cara komunikasi dengan Wahyu. Bagaimana bu!" ujar ibu guru takut-takut menyinggung perasaan ibu Wahyu.
"Sekolah itu terkalu jauh bu dengan rumah saya. Adanya ditengah Kota. Saya tidak bisa mengantarnya karena tidak ada kendaraan," raut wajah yang tadinya dipaksa tersenyum akhirnya menampakkan kesedihannya.
"Aaaa aaa aaa eee" Wahyu menunjuk dirinya lalu disusul dengan jari jempol kecilnya dengan senyum yang lebar.
"Aku senang, Wahyu bilang itu bu guru," ujar sang ibu menerjemahkan sambil tersenyum kembali.
"Saya akan usaha bu buat belajar berkomunikasi dengan Wahyu, lalu mengajarnya," ujar bu guru itu.
Mendengar penyanggupan dari ibu guru membuat ibu Wahyu tersenyum lega. Ia takut-takut sang anak tidak diterima ditempat yang dipenuhi dengan manusia yang sempurna fisiknya.
Dengan jerih payah ibu guru mendorong satu persatu siswa kedepan kelas untuk memperkenalkan diri. Ada diantara mereka yang menyebut namanya dengan percaya diri dan lantang.
Terlihat sudah banyak melakukan latihan. Namun ada juga yang mengucapkan namanya sambil memeluk kaki ibu guru atau sambil menghapus air matanya.