"Aaaa aaa aaa," salah seorang murid meniru cara bebicara Wahyu diikuti tawa mereka semua. Mereka berulang-ulang kali meniru semuanya tertawa. Termasuk Wahyu. Dia tidak paham, hanya ikut-ikutan.
"Ehh ehh aaaaa eee aaaa," salah seorang siswa menarik Wahyu agar terfokus kepadanya. Ia menunjuk Wahyu dengan jari telunjuknya, lalu menirukan gerakan monyet.
Semua murid tertawa kembali. Mereka serentak mengikuti gerakan siswa tadi. Wahyu yang tak kunjung menyadari ia sedang diolok-olok masih ikut tertawa.
"Kok gitu sih sama temannya. Gak boleh gitu. Anak ibu guru anak baik kan? " Ibu guru yang tengah menikmati makan siang dengan tenang terganggu karena suara tawa yang menggelegar didalam ruang kelas.
Berdirinya Wahyu ditempat yang diijaki oleh anak-anak yang sempurna tanpa kebutuhan khusus sepertinya wajar jika Wahyu menjadi bahan olokan. Anak-anak yang tak mengerti apa-apa tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Ibu guru berpikir sejenak, bagaimana membuat mereka bisa menerima keberadaan Wahyu yang berbeda dari mereka.
"Anak-anak mau main game tidak? Ibu punya game. Namanya, Ayo Coba jadi Wahyu? Gimana pada mau tidak?" Sebuah ide terlintas dikepala ibu guru.
"Mauu bukkk." Mereka menjawab dengan semangat.
"Nahh, kalau mau sekarang baris dulu yang rapi yahh. Wahyu, ayo nak! Berdirinya ditengah ya," ujar bu guru sambil menarik tangan Wahyu.
"Nah, nanti ibu bakal kasih tau Kela nama satu hewan. Terus Kela bakal peragain gerakan hewannya. Semuanya hadap kanan nak. Nanti kalau pundaknya dipegang mengadap kiri yaah. Lalu, tebak hewan apa yang diperagain. Terus kalian peragain keteman satunya sampe ujung ya," Ibu guru menjelaskan sambil menyontohkan peraturan bermain agar anak-anak hiperaktifnya dapat memahami ucapannya.
"Waktu meragain hewannya cuman sampai hitungan 10 ya anak-anak. Nanti kalau yang salah kita coret mukanya pakai bedak, setuju?" ujar ibu guru. Semua murid menjawab setuju dengan semangat.