RADAR BENGKULU –Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Universitas Bengkulu (Unib) menyatakan sikap tegas dengan menolak kenaikan UKT dan mendesak pencabutan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) No. 2 Tahun 2024.
Aksi ini guna menanggapi maraknya kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri di Indonesia.
BACA JUGA:Mohammad Mokhber Menggantikan Posisi Mendiang Ebrahim Raisi Sebagai Presiden Iran Sementara
Presiden Mahasiswa BEM KBM Unib, Ridhoan Parlaungan Hutasuhut dalam pernyataannya pada Senin, 20 Mei 2024 menyampaikan bahwa kenaikan UKT telah memberatkan mahasiswa dan keluarga mereka.
Kebijakan ini, menurut Ridhoan, berpotensi menghambat akses pendidikan bagi kalangan kurang mampu dan menambah beban ekonomi di tengah situasi yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi.
BACA JUGA:Helikopter yang Ditumpangi Presiden Iran Kecelakaan dan Hancur, Ebrahem Raisi Meninggal?
"BEM KBM Unib menolak dengan tegas kenaikan UKT yang terjadi di berbagai Universitas Negeri di Indonesia. Kenaikan ini sangat memberatkan mahasiswa dan keluarga mereka, dan dikhawatirkan akan menghambat akses pendidikan bagi kalangan kurang mampu," ujar Ridhoan dalam konferensi pers yang dihadiri oleh sejumlah media lokal dan nasional.
Ridhoan menambahkan, BEM KBM Unib mendesak pemerintah untuk segera turun tangan dan membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada mahasiswa.
Ia juga mengkritik keras pernyataan Kemendikbud-Ristek yang menyebut pendidikan tinggi sebagai sektor tersier, yang menurutnya mencerminkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pendidikan tinggi.
"Kami mendesak pemerintah untuk turun tangan secara langsung membuat kebijakan konkrit terkait permasalahan kenaikan UKT. Kami juga mengecam keras pernyataan Kemendikbud-Ristek yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier. Pernyataan ini menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib mahasiswa dan masa depan pendidikan di Indonesia," tegas Ridhoan dengan nada serius.
Menurut Ridhoan, Permendikbud-Ristek No. 2 Tahun 2024 perlu dicabut karena dinilai tidak adil dan tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi mayoritas masyarakat Indonesia.
Ia menekankan bahwa kebijakan tersebut justru memperburuk ketimpangan akses pendidikan, yang seharusnya menjadi hak semua warga negara.