Antara Harapan dan Kenyataan: Menjawab Fenomena Kekerasan Seksual di Indonesia

Rabu 19-06-2024,12:16 WIB
Oleh: Tim redaksi

Hal ini merupakan representatif dari pembaharuan pemikiran terhadap tujuan pemidanaan.

 Hukum pidana dewasa ini tidak hanya hadir sebagai legalitas penguasa dalam membentuk rumusan kejahatan, dan pelaksaan hukuman yang ber-orientasi hanya kepada pelaku, namun hukum pidana harus bisa menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban sehingga sebisa mungkin memulihkan keadaan korban kepada keadaan semula.

Ada beberapa hal menarik yang terdapat di dalam UU-TPKS sendiri yaitu;

Pertama, dalam hal bentuk kekerasan seksual tidak hanya fisik, tetapi juga non-fisik;

Kedua, Tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan undang-undang ini tidak dapat lagi dilakukannya penyelesaian dengan jalur damai, kecuali terhadap pelaku anak;

Ketiga, membentuk aparat penegak hukum yang berprespektif kepada korban untuk mencegah reviktimisasi.

Keempat, dalam hal pembuktian, barang bukti telah dikualifikasikan sebagai alat bukti dengan tujuan memudahkan aparat penegak hukum mengungkap kasus kekerasan seksual.

Kelima, mengupayakan sinergitas antara semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah dalam penanganan kekerasan seksual.

Lalu bagaimana dengan faktanya sekarang?, sejak dibentuknya UU-TPKS dengan segudang harapan dari masyarakat dan pemerintah, dan sejak tulisan ini dibuat dalam hal penanganan kekerasan seksual masih saja terdapat permasalahan, yaitu; 

1). Permasalahan yang kerap dijumpai adalah mengenai penyelesaian kekerasan seksual itu sendiri/ dalam hal penegakan hukumnya.

UU-TPKS sendiri belum sepenuhnya dapat dilaksanakan mengingat peraturan pelaksana belum juga dibentuk. 

2). Dalam hal pembuktian, hukum positif di indonesia menetapkan minimal 2 alat bukti, sehingga polisi terkadang masih memiliki kesulitan dalam mencari dan menemukan alat bukti tindak pidana kekerasan seksual.

Ini disebabkan karena kekerasan seksual sendiri merupakan tindak pidana yang sangat tertutup, dan dilakukan ditempat-tempat yang sepi, sehingga kesulitan dalam mencari saksi. 

3). Korban kekerasan seksual juga terkadang tidak langsung melaporkan kekerasan yang ia alami, hal ini berkaitan dengan keadaan tertentu yang dialami korban, bisa saja adanya keadaan trauma, jiwa terguncang hebat, atau malu dan takut melakukan pelaporan kepada polisi.

Sehingga barang bukti dari kejadian tersebut menghilang.

4). Adanya representasi negatif dari masyarakat dan aparat penegak hukum yang terkadang merendahkan korban, bahkan cenderung menyalahkan korban atas peristiwa yang ia alami.

Kategori :