RADAR BENGKULU – Lebih dari dua pekan, Pulau Enggano yang berada di ujung barat Provinsi Bengkulu terputus dari dunia luar akibat berhentinya transportasi kapal.
Warga Pulau Enggano dengan populasi lebih dari 4.000 jiwa ini kini menghadapi krisis bahan pokok, pasokan BBM tersendat, pendidikan terhenti, dan hasil panen membusuk tanpa bisa dikirim.
Ironisnya, kelumpuhan ini tak segera ditangani serius. Pemerintah daerah, pusat, hingga BUMN terkait seperti Pelindo, tampak sibuk berwacana tanpa solusi konkrit. Padahal, kehidupan ribuan jiwa sedang dipertaruhkan.
Ketua AMAN Enggano, Mulyadi Kauno menyebut, kondisi ini sebagai ancaman nyata terhadap keberlangsungan hidup masyarakat adat.
“Mulai dari kebutuhan bahan pokok, BBM, hingga pengiriman hasil panen semuanya macet. Kami terisolasi,” ujar Mulyadi.
BACA JUGA:Mulyadi Menjadi Ketua Masyarakat Adat Engano. Prioritaskan Pengesahan Perda Masyarakat Adat Enggano
Hal senada disampaikan Milson Kaitora, Paabuki (pemimpin adat) Enggano. Ia menilai pemerintah daerah gagal membaca tanda-tanda krisis sejak awal.
“Pendangkalan pelabuhan di Pulau Baai bukan hal baru. Tapi mengapa tidak ada langkah antisipatif? Sekarang, semua dampaknya ke kami orang pulau,” ujarnya geram.
Krisis transportasi ini memukul telak ibu rumah tangga di Enggano. Harga-harga melonjak liar. Bawang merah tembus Rp 70 ribu/kg, minyak goreng Rp 26 ribu/liter, dan telur nyaris tak ditemukan di warung.
“Kalau ini berlanjut sampai sebulan, kami tidak tahu lagi harus makan apa,” kata Windi Aprilia, perempuan adat Enggano.