Banner disway

KHUTBAH IDUL ADHA: Meneladani Perjuangan Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam

 KHUTBAH IDUL ADHA: Meneladani Perjuangan Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam

Wawan Kurniawan-Adam-radarbengkulu


Sekali lagi itu adalah perintah Allah. Tidak ada pilihan terbaik kecuali harus sabar, sabar, sabar dan tawakkal kepada Allah Sang Pemilik Segala Kehidupan.


Berkat ketulusan dan ketegaran hati Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam ketika menerima perintah Allah Swt, saat ini kaum Muslimin bisa merasakan hasilnya. Ka’bah yang pada mulanya dibangun dan dithawafi hanya 3 manusia mulia (yakni Ibrahim – Hajar dan Ismail), kini setiap tahunnya dithawafi jutaan manusia dari seluruh penduduk dunia. Dan diprediksi terus- menerus meningkat setiap tahunnya.


Berkat perjuangan Nabiyullah Ibrahim menerapkan konsep sabar dan tawakkal secara totalitas, kini kaum muslimin bisa merasakan perjuangan beliau. Jazirah yang dahulunya tandus dan gersang yang hanya dihuni tiga manusia mulia (Ibrahim, Hajar dan Ismail), kini telah berubah menjadi kawasan yang paling aman, kaya dan makmur di muka bumi. Begitu juga dengan tanah yang dulunya tandus, kering kerontang, sekarang ini air berlimpah ruah meskipun air zam-zam itu dikuras berjuta liter tiap harinya. 



Hadirin rahimakumullah
Kedua, Kesukesan Besar Diawali Dari Pendidikan Dalam Keluarga
Kesuksesan Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam dalam membangun peradaban dimulai dari mutu dan kualitas pendidikan keluarganya. Sebagaimana yang dijelaskan surat Ash-Saffat Ayat 99 - 113. 


Kisah pengorbanan bermula ketika Ibrahim bermimpi menyembelih putera tercintanya Ismail. Setelah Ismail beranjak dewasa, Nabi Ibrahim mendapat wahyu untuk menyembelih putranya tersebut. 


Namun demikian, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak sertamerta langsung menyembelihnya. Beliau mengajak berdialog dan meminta pendapat putranya tersebut. 
"Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu."
Ismail yang masih belia menjawab dengan tenang, 
"Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah 
kepadamu; in shaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."

Hadirin rahimakumullah!
Setelah menyimak dialog antara ayahanda Nabi Ibrahim 'alaihissalam dengan putera tercintanya Ismail, dapat kita temukan nilai edukasi yang sangat berharga. 


Ismail yang masih usia anak-anak, menjawab pertanyaan ayahandanya dengan hati yang tenang, sabar dan meyakini itu adalah perintah dari Allah Swt. 


Tentu jawaban Ismail seperti ini berkat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya Siti Hajar. Dari sinilah  pengenalan dan penanaman pendidik aqidah harus diterapkan di lingkungan keluarga.

Pada perkembangan berikutnya, ternyata para rasul yang diutus Allah ta'ala setelah masa Nabi Ibrahim, mereka semua adalah anak-anak keturunan beliau. 


Bahkan sebagian diantaranya ada yang diberikan amanah kenabian dan kekuasaan sebagai seorang raja seperti Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf 'alaihissalam. 


Fakta ini membuktikan bahwa pendidikan bervisi tauhid, aqidah dan akhlaq di lingkungan keluarga, menjadi modal utama bagi terbentuknya generasi yang  berkualitas baik dunia maupun akhirat. Hal ini dapat ditemukan dalam surat Al Baqarah ayat 132:


Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".


Pesan dan wasiat ayahanda nabi Ibrahim 'alaihissalam ini benar-benar diterapkan anak-anaknya. 
Detik-detik ketika nabi Ibrahim akan meninggal dunia, Ibrahim bertanya kepada anak-anaknya, “Maa ta’buduuna mim’ba’di (apa yang kamu sembah sepeninggalku)”? 
Anak-anaknya menjawab : 
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. (al Baqarah ayat 133).


Ayat di atas membuktikan betapa besarnya perhatian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pada pendidikan anak-anaknya. Beliau dia tidak rela kalau anaknya bodoh atau berada pada jalur pendidikan yang salah, seperti  tradisi menyembah berhala yang pada umumya dilakukan penduduk saat itu.


Ketahuilah bahwa pendidikan yang pertama dan utama adalah pendidikan tauhid, akhlaq dan aqidah sebagai pondasi yang kokoh. Terpuruknya bangsa ini bukan karena sumber daya manusianya yang kurang cerdas. Salah satu penyebabnya adalah adanya krisis moral dan akhlaq. Mereka yang tidak dilandasi akhlaq,  dengan ilmunya akan melakukan korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan dan kepuasan nafsunya.


Begitu juga banyaknya kasus kenakalan remaja seperti pergaulan bebas, narkoba atau pun tawuran, terjadi akibat dari kurangnya perhatian bimbingan, kasih  sayang dan pengawasan orang tua terhadap akhlaq mereka. 
Untuk itu, pada bulan mulia Dzulhijjah ini, marilah kita merenung. Sudahkah kita menjadi orang tua yang shaleh ? Jangan sampai terjadi kita mendambakan  generasi yang shaleh tetapi orang tua sendiri tidak berusaha menjadi orang tuanya yang shaleh.


Marilah kita ber-ikhtiar menjadi orang tua yang baik, orang tua yang shaleh yang rela berkorban harta demi pendidikan anak-anak kita. Marilah kita berkorban waktu demi mengawasi pergaulan anak-anak kita, dan membimbing mereka agar selalu dibawah lindungan Allah Swt.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: