Nasihat Kehidupan : Manusia Bahagia dan Manusia Sengsara
Ustadz Dr. Ismail, M. Ag-Adam-Radar Bengkulu
Predikat mauquf hadis ini lebih dibenarkan (daripada predikat marfu -nya).
قَالَ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْأَزْدِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ، [عَنْ أَبِي حُجَيْرة] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا} قَالَ: "الْمَعِيشَةُ الضَّنْكُ الَّذِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَّهُ يُسَلَّطُ عَلَيْهِ تسعة وتسعون حَيَّةً، يَنْهَشُونَ لَحْمَهُ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ"
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Ibnu Hujairah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124)
Nabi Saw. bersabda: Penghidupan yang sempit yang disebutkan oleh Allah ialah Dia menguasakan si orang kafir kepada sembilan puluh sembilan ular, yang semuanya menggerogoti dagingnya sampai hari kiamat terjadi.
قَالَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا} قَالَ: "عَذَابُ الْقَبْرِ".
Al-Bazzar mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (Thaha: 124) Bahwa yang dimaksud ialah azab kubur. Sanad hadis berpredikat jayyid.
Ayat ini menjelaskan dua golongan manusia:
1. manusia bahagia ialah yang mengikuti petunjuk Allah, hidupnya tenang, hatinya lapang.
2. manusia sengsara ialah yang berpaling dari Allah, meski hartanya banyak, hatinya tetap gelisah dan sempit.
Hadirin Ma’asiral Muslimin Jamaah Jum’at Rakhimakumullah
Menurut Imam Al-Ghazali Rahimahullah, ada 4 elemen supaya kita mendapatkan kebahagiaan yang sejati.
Pertama; Mengenal diri (Ma’rifatun Nafs)
Al-Ghazali mengatakan; mengenal adalah kunci untuk mengenal Tuhannya, yakni Allah Swt. Sebagaimana dikatakan Al-Quran:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰ فَا قِ وَفِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَـقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS: Fussilat: 53).
Dengan bertafakur siapakah kita ini, darimana ia berasal, siapa yang menciptakannya, berfikir tentang keadaanya, anggota tubuhnya, serba kelemahannya, maka hal itu akan mendorong dia menemukan Tuhannya. Karena apapun di dunia ini pasti ada yang menciptakan, mustahil kalau adanya manusia, dan alam semesta itu tiba-tiba ada dengan sendirinya. Dialah Allah Sang Pencipta.
Kedua: mengenal Allah (Ma’rifatullah)
Mengenal Allah dengan sebaik-baiknya akan mengantarkan seorang manusia untuk tidak salah dalam memilih Tuhannya. Ia akan terhindar dari sifat menyekutukan-Nya karena Allah tida suka untuk disekutukan. Bila manusia mengenal Allah dengan baik, maka ia juga tidak akan putus asa dari rahmat-Nya yang begitu luas. Sehinga Ia akan berusaha menaatinya dalam rangka untuk memperoleh ridha-Nya.
Ketiga: Mengenal dunia (Ma’rifatuddunya)
Seseorang yang mengenal dunia dengan baik, maka ia tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Melainkan menjadikannya wasilah untuk memperoleh kebahagiaan yang sejati di akhirat.
Imam Al-Ghazali membuat perumpamaan dunia penumpang kapal yang kemudian kapal istirahat sebentar di pelabuhan. Nakhoda kapal mengumumkan bahwa kapal akan berlabuh selama beberapa jam, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai, tetapi jangan terlalu lama. Akhirnya, para penumpang turun dan berjalan ke berbagai arah.
Kelompok penumpang yang bijaksana akan segera kembali setelah berjalan-jalan sebentar dan mendapati kapal itu kosong sehingga mereka dapat memilih tempat yang paling nyaman. Ada pula para penumpang yang berjalan-jalan lebih lama di pulau itu, mengagumi dedaunan, pepohonan, dan mendengarkan nyanyian burung.
Saat kembali ke kapal, ternyata tempat yang paling nyaman telah terisi sehingga mereka terpaksa diam di tempat yang kurang nyaman.
Kelompok penumpang lainnya berjalan-jalan lebih jauh dan lebih lama; mereka menemukan bebatuan berwarna yang sangat indah, lalu membawanya ke kapal. Namun, mereka terpaksa mendekam di bagian paling bawah kapal itu. Batu-batu yang mereka bawa, yang kini keindahannya telah sirna, justru semakin membuat mereka merasa tidak nyaman.
Kelompok penumpang lain berjalan begitu jauh sehingga suara kapten, yang menyeru mereka untuk kembali, tak lagi terdengar. Akhirnya, kapal itu terpaksa berlayar mereka. Dan mereka menjadi terlunta-lunta serta santapan binatang buas. Kelompok pertama adalah orang beriman yang sepenuhnya menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok terakhir adalah orang kafir yang hanya mengurusi dunia dan sama sekali tidak mempedulikan kehidupan akhirat.
Dua kelompok lainnya adalah orang ber iman, tetapi masih disibukkan oleh dunia. yang sesungguhnya tidak berharga.
Keempat: mengenal akhirat (Ma’rifatul akhirah)
Manusia yang mengenal akhirat dengan baik akan membuatnya tidak silau dengan gemerlap dunia. Ia tahu bahwa perjalannya sangat panjang dan melelahkan setelah menjalani hidup di dunia yang sementara, sehingga berusaha untuk mempersiapkan bekal sebaik-baiknya menuju akhirat.
Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya’ Ulumuddin: “Kebahagiaan sejati bukan pada kenikmatan jasmani, tetapi pada kebersihan hati dan kedekatan dengan Allah. Sebab hati yang mengenal Allah akan merasa tenang meski dalam kesulitan.”
Orang yang cerdas ialah yang menggunakan kenikmatan dunia ini sebagai bekal untuk kenikmatan abadi diakhirat. “ Sebuah kisah nyata menarik yang bisa diambil ibrahnya bagaimana kisah akhir hidup seseorang yang bergelimang harta dunia. Seorang miliader Top di Amerika Serikat Steven Job, meninggal dunia di usia 56 tahun, karena Cancer Pankreas. Bos perusahaan Apple ini meninggalkan kekayaan senilai USD 7 Miliar. “Menurut saya saat ini, hidupku adalah inti dari kesuksesan itu sendiri. Tapi, saya tidak bahagia dengan apa yang saya miliki.
Akhirnya aset itu hanya angka, atau sesuatu yang saya kumpulkan. Saat ini, ketika saya tergeletak di tempat tidur, sakit, saya mengenang hidupku.” Saya tahu, semua ketenaran dan asetku tak ada artinya saat menghadapi kematian. Anda bisa bayar orang untuk menyetir mobil, memenuhi kebutuhan Anda, membayar manajer memimpin perusahaan Anda, mengumpulkan banyak harta dan ketenaran. Tapi, Anda tidak bisa membayar orang memikul rasa sakit Anda. Ada banyak materi saat hilang bisa diganti, tapi tidak dengan kehidupan,” begitu katanya.
Itulah pelajaran hidup yang sangat berharga bahwa hakekat kebahagiaan itu tidak terletak pada harta saja, tetapi pada ketenangan hati. Oleh karena itu, ciri manusia bahagia meliputi;
1. Hatinya tenang karena selalu berdzikir kepada Allah. (QS. Ar-Ra’d [13]: 28).
2. Ridha terhadap ketentuan Allah.
3. Tawakal dalam setiap usaha.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
