Pembelajaran Tatap Muka, Beradaptasi Tanpa Harus Terdegradasi

Pembelajaran Tatap Muka, Beradaptasi Tanpa Harus Terdegradasi

Oleh: Liza Mayasari, Aktif di Rafflesia Riset Paramenter (RRP)

Menatap layar gawai sembari mencoba memahami setiap materi yang diberikan oleh guru, belajar beradaptasi dengan perubahan sistem pembelajaran. Belum selesai proses tersebut anak-anak dihadapkan lagi dengan tekanan saat belajar. Misalnya ketidaksabaran orang tua pada saat mendampingi mereka. Bukan hal yang baru lagi ketika membicarakan Covid-19 dengan sederet persoalan yang mengikutinya, baik di bidang kesehatan, ekonomi bahkan pendidikan. Saat pandemi layar gawai menjadi tirai antara guru dan murid, sekat yang diharapkan mampu membuat murid memahami pembelajaran dari sana.

Mampukah peranan guru diwakilkan oleh gawai? Jika saja kejadian yang dialami salah satu murid sekolah dasar pada Agustus 2020 lalu tidak akan terjadi. Kejadian yang menambah retetan cerita pada masa pandemi ini, seorang ibu hilang kesabarannya pada saat mendampingi anaknya belajar online. Murid kelas 1 Sekolah Dasar (SD) itu dihadapkan dengan sistem belajar dari rumah, saat dia tidak mengerti, belum paham materi yang diajarkan yang didapatkannya adalah cubitan, pukulan bahkan nyawanya pun tergadaikan. Pemahaman anak yang dinilai ibunya lambat membuat ibu tersebut terpancing emosi hingga kesabarannya habis.

Anak yang berusia 8 tahun ini mendapatkan penganiayaan dari ibunya. Awalnya hanya mencubit, kemudian memukul kaki dan tangan anak dengan sapu hingga lemas. Tak hanya sampai di sana saja, kondisi anak yang sudah lemas masih tetap mendapat pukulan di bagian punggung hingga kepalanya jatuh terbentur di lantai (Kompas, Saaat Rekontruksi Terungkapnya Awal Mula Ibu Bunuh Anak karena Sulit Belajar Online, 25 September 2020).

Tidak adil rasanya jika menyalahkan sistem belajar dari rumah menjadi pemicu kejadian tersebut karena banyak faktor yang bisa menjadi penyebab hal itu terjadi sebagaimana yang dikutip dari media online Kompas tentang tanggapan Psikolog terhadap kejadian itu, Mario Manuhutu, Beliau yakin pemicu kejadian itu bukan hanya soal anak yang susah diajari saat belajar online, stres karena masa pandemi dan faktor lain bisa juga menjadi latar belakang kekerasan tersebut (kompas.com, Dian Reinis).

Belajar dari rumah merupakan upaya pemerintah mencegah penyebaran Covid-19 sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar Dari Rumah (BDR) dalam masa darurat Covid-19. Tujuan dari pelaksanaan DBR adalah memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk dapat layanan pendidikan selama darurat Covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk Covid-19, mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 di satuan pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik dan orang tua (Kemendikbud.go.id, Kemendikbud Terbitkan Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah, 29/05/20).

Disisi lain Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan hasil survei pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan sistem penilaian jarak jauh berbasis pengaduan KPAI yang salah satunya merekomendasikan sistem PJJ ini mempertimbangkan kondisi anak dan keluarganya dan penilaian dalam ujian daring. Survei ini juga memaparkan dari 1700 responden, saat ditanya setelah 4 minggu menjalankan Pembelajaran Jarak Jauh siswa menyatakan tidak senang belajar dari rumah sebanyak 76,7 % (Paparan Survei PJJ KPAI, 29/04/20).

Menurut 81,8 % responden selama PJJ berjalan 4 minggu, ternyata para guru lebih menekankan pada sebatas pemberian tugas, bahkan jarang menjelaskan materi, diskusi ataupun tanya jawab. Menurut 43% responden ada pemberian materi dari guru dengan menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 17,9 % ada tanya jawab baik melalui aplikasi zoom maupun whatsapp dan video call. Sedangkan 11,3% responden menyatakan ada diskusi antara guru dan siswa (Paparan Survei PJJ KPAI, 29/04/20).

Perlunya Pembelajaran Tatap Muka

Saat pandemi seperti sekarang ini kita dihadapkan pilihan yang cukup sulit, bertahan pada sistem daring untuk mencegah Covid-19 atau ikut belajar secara tatap muka dengan ketentuan yang disesuaikan pada saat pandemi. Ada kendala ada juga solusi yang disuguhkan misalnya sistem tatap muka sebagaimana yang tertuang dalam surat keputusan bersama (SKB) 4 Menteri, pembelajaran di satu pendidikan pada tahun ajaran 2020/2021 dilakukan secara bertahap dengan ketentuan-ketentuan yang mengikutinya (Salinan revisi SKB 4 Menteri).

Dengan demikian pembelajaran tatap muka akan dilaksanakan menyesuaikan kondisi pada saat pandemi ini. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Nadiem Makarim pada media online Tempo, Beliau berpendapat belajar dari rumah sudah terlalu lama, kondisi psikologis dan cognitive learning loss anak-anak kita sudah terlalu kritis. Pembelajaran Tatap Muka (PTM) tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat (nasional.tempo.co).

Sistem tatap muka yang akan dilangsungkan di saat pandemi tentunya membuat kekhawatiran di kalangan orang tua. Namun apabila kita mau mengkaji apa dampak positifnya, sistem tatap muka ini bisa menjadi bahan pertimbangan kalau hal tersebut perlu dilakukan. Pendidikan karakter khususnya pada siswa sekolah dasar tidak cukup jika hanya mengandalkan lingkungan keluarga saja. Sebagaimana pengertian karakter yang dikemukakan oleh Soemarno Soedarno yaitu sebuah nilai yang telah terpatri di dalam diri seseorang melewati pengalaman, pendidikan, pengorbanan, percobaan serta pengaruh lingkungan yang lantas dipadupadankan dengan nilai yang terdapat di dalam diri seseorang dan menjadi nilai intrinsik yang terwujud di dalam sistem daya juang yang lantas melandasari sikap, perilaku dan pemikiran seseorang (gurupendidikan.co.id, Pengertian Karakter).

Contoh etika di sekolah misalnya menghormati dan bersikap sopan pada guru, teman dan warga sekolah, membiasakan hal tersebut hingga menjadi kebiasaan tentunya tak cukup hanya mengandalkan pembelajaran via daring saja. Banyak proses pembelajaran etika yang bisa ditemui saat sistem tatap muka berlangsung. Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Drs. Muslih. H, M.si, peran orang tua tidak bisa digantikan oleh guru dan begitu juga sebaliknya. Orang tua dan guru harus beriringan dalam membentuk karakter anak. (18/09/20)

Dosen alumni Hukum tahun 77 ini berpendapat pendidikan karakter itu adalah Pancasila. Pancasila adalah karakter Indonesia. Untuk tingkat sekolah dasar pendidikan karakter lebih efektif jika dilakukan secara tatap muka karena penamaman karakter di tingkat ini harus secara langsung dicontohkan, aksi dan diaplikasikan. Gerak-gerik guru adalah contoh yang sangat mudah diterima sebagai perilaku pada anak didik terutama pada tingkat sekolah dasar (18/09/21).

Bagaimana pun juga pembelajaran saat ini tidak bisa hanya mengandalkan sistem belajar dari rumah saja. Pembentukan karakter peserta didik terutama pada tingkat sekolah dasar harus menjadi perhatian utama karena merupakan pondasi awal pembentukan karakter generasi penerus Bangsa yang mampu meimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Pentingnya interaksi di lingkungan sekolah, pengalaman dan contoh konkret dari pendidik menentukan keberhasilan pendidikan karakter yang diharapkan. (***)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: