Belajar Sadar Brand dari Liga 2

Belajar Sadar Brand dari Liga 2

radarbengkuluonline.com - Pergerakan para pesohor tanah air di Liga 2 dalam membangun brand cukup menarik untuk dikuliti. Cara-cara mereka mengelola klub menjadi sebuah brand untuk meraup pendapatan digital layak untuk dipelajari.

DIGITALISASI, sadar atau tidak, mau tak mau, memang menjadi salah satu sumber pendapatan yang disasar Kaesang Pangarep, Raffi Ahmad, Atta Halilintar, dan lainnya. Sebab, saat mereka memutuskan mengakuisisi klub-klub Liga 2, kala itu belum ada kejelasan terkait kompetisi, baik jadwal maupun sistemnya. Apalagi suasana pandemi, pendapatan dari tiket pertandingan adalah hal yang mustahil.

Maka, dengan latar belakang ketiganya sebagai pesohor yang biasa aktif di dunia maya, aset-aset digital harus diperkuat. Kuncinya, branding atau membentuk citra hingga nanti menjadi merek dagang.

Terciptanya sebuah citra dan persona muncul karena konsistensi dari visual dan teks atau gabungan keduanya. Teks ini melingkupi nama klub, copywriting, gaya bahasa di caption, dan sejenisnya. Sementara urusan logo, bentuk, tingkah laku, gerak-gerik, warna yang dipilih, hingga karakter huruf yang selaras dengan teks ini termasuk dalam ranah visual.

Kaesang, Raffi, dan Atta sudah terbiasa dengan hal itu dan mencoba menerapkan citra dirinya ke dalam citra klub. Kaesang dengan citra khas ceplas-ceplosnya bahkan sempat menyindir ketidakpastian nama dari klub Atta menjelang pembukaan Liga 2 lalu. Citra Kaesang itu tetap terbawa meskipun ia berstatus direktur utama.

Berbicara soal Atta, ia berbeda dengan Kaesang dan Raffi yang mengakuisisi klub tanpa perubahan nama dan perpindahan home base. Atta lebih kompleks dalam usaha membangun brand klubnya.

Sebagai kreator YouTube dengan channel yang memiliki subscriber terbesar di Asia, branding adalah makanan sehari-hari bagi Atta. Ia dan tim digital di bawahnya tahu betul cara mewujudkan from nobody to be somebody.

Bukankah sebelum muncul Atta dan gengnya, ”halilintar” hanyalah kata lain dari petir? Tanpa disadari, akan terlintas pula sosok Atta begitu terdengar kata ”Ah siap”, bukan?

Jadi, membangun branding melalui teks dan nama bukanlah masalah besar bagi Atta. Karena itu, ia tetap mengubah nama Putra Safin Grup Pati menjadi AHHA PS Pati pada 15 Juni. Walaupun nama PSG Pati itu sendiri baru berumur dua pekan dari perubahan nama sebelumnya, Putra Sinar Giri Gresik.

Penyematan citra dinamanya ke dalam nama klub adalah cara pertama Atta membangun brand klub. Pelafalan ”AHHA” sama dengan inisial Atta Halilintar. Itu nama, selanjutnya kita bahas logo yang masuk ranah visual untuk branding. Atta sudah mahfum betul akan hal ini. Konsistensi citra visualnya cukup terjaga mengendap ke alam bawah sadar banyak orang: rambut panjang dan terikat bandana.

Atta dan timnya membuat logo baru AHHA PS Pati yang lebih simpel dan bermain dengan satu warna. Ia mengubah bentuk perisai dari PSG Pati –yang jamak digunakan klub sepak bola Indonesia– menjadi lingkaran dengan kuda berwarna hitam saja. Logo-logo seperti ini memang sangat mudah diaplikasikan ke ruang digital, terutama dalam membentuk brand.

Di sepak bola, Premier League dan Juventus sudah menerapkan logo-logo satu warna dengan bentuk jauh berbeda seperti ini saat melakukan rebranding. Logo AHHA PS Pati Atta hanya kurang menghilangkan bentuk lingkarannya dan teks untuk setidaknya bisa setara dengan dua logo tersebut.

Meski begitu, upaya-upaya Atta membangun sebuah brand dan membuat orang tersadar bahwa ia pemiliknya ini pun mulai terlihat. Di Instagram, akun @ahhapspati yang baru dibuat pada 3 Juni sudah memiliki satu juta pengikut pada 1 September lalu. Sebuah catatan tercepat untuk akun klub sepak bola di Indonesia, tiga bulan saja! Bali United sendiri butuh waktu sekitar lima tahun untuk mendapatkan jumlah pengikut yang sama di Instagram.

Jumlah pengikut adalah jaminan untuk menarik pendapatan dari media sosial. Jangkauan menjadi lebih luas karenanya. Algoritma media sosial juga bekerja berdasar besaran angka untuk mendapatkan target yang diinginkan: awaraness atau sales.

Itu baru di Instagram yang sepintas tak memiliki adstream, tapi sebenarnya dapat menghasilkan lebih besar jika dijadikan etalase atau ruang iklan para sponsor. Lalu YouTube, Twitter, dan Facebook yang memiliki penayangan iklan sebagai pendapatan, tentu akan mempercepat klub-klub ”baru” ini balik modal.

Klub-klub Liga 1 sepertinya harus belajar banyak dari Atta dan klub-klub baru di Liga 2 lainnya tentang cara menciptakan sebuah merek dagang guna meraup pendapatan di ruang digital. Dan bukan tak mungkin, digitalisasi menjadi nilai tawar kepada sponsor agar tidak memaksakan diri berada di jersey.

Lagi pula, Atta tinggal tunggu waktu saja agar logo lingkaran kuda dan AHHA PS Pati diresmikan PSSI tanpa harus menunggu kongres tahunan. Dengan menggunakan pasal 17 ayat 1 (f) Statuta PSSI 2019 dan mempertimbangkan aspek keuangan demi kelangsungan klub, federasi kita ini siap meresmikan nama AHHA PS Pati hanya dari rapat komite eksekutif. Kalau rapat ini pekan depan, ya bisa saja.

Begitulah PSSI dengan citra dan personanya: konsisten dalam inkonsistensi. (*/JawaPos.com)


FAJAR RAHMANDigital content and communication manager Persib Bandung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: