Amanah Kepemimpinan

Jumat 09-02-2024,00:15 WIB
Reporter : Adam
Editor : Azmaliar Zaros

Penerima amanah hendaknya menyadari kemampuan dirinya untuk memimpin. Jadi untuk mendapatkan amanah itu bukan dengan nafsu, apalagi dirinya ada kelemahan yang fatal. Keberanian saja tidaklah cukup dan yang paling penting bahwa "dirinya bersih" dari kesalahan yang sifatnya memperkaya diri maupun kelompoknya.

Di samping itu ada syarat yang harus yang dipenuhi, yaitu tidak mudah terpengaruh oleh hawa nafsu, baik nafsu dunia, nafsu kekayaan, nafsu kekuasaan, dan lainnya.

 

Sebab, jika seseorang mempunyai syarat kepemimpinan zahir, seperti keilmuan, keberanian, tetapi tidak mempunyai syarat batin, maka kepemimpinan tersebut akan dipakai untuk mencari nafsu keserakahan, baik nafsu kekayaan ataupun kekuasaan.

Oleh sebab itu, sejak dini, Rasulullah SAW mengantisipasi umatnya jangan sampai memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya.

 

Sebab, pemimpin yang dapat menjalankan tugas dengan baik adalah pemimpin yang mengambil kepemimpinan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, bukan mereka yang mendapatkannya dengan nafsu dan emosi.

Sikap kasih sayang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka dan tidak menakut-nakuti mereka. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah beserta para pemimpin Islam yang takut dengan penyimpangan amanah.

 

Adapun sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan kesungguhannya menegakkan Amanah kepemimpinan di tengah rakyatnya berdasarkan arahan Ilahi.

Sebabnya, tidak ada keadilan haqiqi kecuali bagi mereka yang benar-benar memahami kepemimpinan dengan segala aturan aturannya berdasarkan arahan Sang Pencipta yang menjadi raja dari segala raja. Tanpa bimbingan Ilahi maka, ia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik.

 

Karena kekuasaan adalah amanah, Nabi SAW mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda yang artinya,

“Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari ia mati, sedangkan ia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya surga.” (HR Bukhari).

 

Bahkan Nabi  SAW mendoakan para pemimpin yang tidak amanah, yang menyusahkan umat, dengan doa yang buruk untuk mereka.

Kategori :