Kontekstualisasi Hadis Tentang Larangan Wanita Menjadi Pemimpin

 Kontekstualisasi Hadis Tentang Larangan Wanita Menjadi Pemimpin

Syafira Sulistiana, S.Th.I., M.Hum-Adam-radarbengkulu.disway.id

 

Syafira Sulistiana, S.Th.I., M.Hum

Guru MI Plus Ja-alHaq Kota Bengkulu

 

Pendahuluan

RADARBENGKULU.DISWAY.ID - Nabi Muhammad SAW telah diutus oleh Allah SWT ke dunia adalah untuk menyampaikan risalah-risalah Allah. Baik itu berita gembira, maupun peringatan (basyiiran wa nadziiran) melalui malaikat Jibril, berupa al-Qur’an al-Karim sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman.

Selain sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad juga menjadi suri tauladan yang baik dari segala aspek kehidupannya. Untuk itu, diperlukan beberapa sarana dan prasarana untuk mengetahui segala seluk-beluk yang berkaitan dengan Nabi Muhammad.

 

Sementara itu, sarana yang paling penting guna mengetahui informasi tentang riwayat Nabi Muhammad, yakni hadis dan sunnah.

Hadis merupakan sumber hukum kedua dan sekaligus menjadi sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Secara fungsional, hadis memiliki fungsi sebagai bayan (penjelas), sebuah narasi yang biasanya sangat singkat dan bertujuan untuk memberikan informasi mengenai apa-apa yang diucapkan, dilakukan maupun disetujui oleh Nabi yang mana terkodifikasi jauh setelah Nabi wafat.

 

Dalam kaitannya sebagai sumber hukum dan sumber ajaran Islam, terdapat perbedaan yang sangat besar antara al-Qur’an dan hadis.

Al-Qur’an telah dipercayai oleh semua umat muslim tanpa kecuali sebagai  wahyu Allah yang telah tertulis sejak zaman Rasulullah masih hidup, yang mana saat itu Rasulullah sengaja memerintahkan juru tulis beliau.

 

Salah satunya adalah Zaid bin Tsabit untuk menuliskan wahyu Allah (al-Qur’an) segera setelah wahyu tersebut datang kepada Rasul.

Sehingga, al-Qur’an dapat terjaga keasliannya hingga saat ini sebab diriwayatkan secara mutawatir. Oleh sebab itu, para ulama sepakat bahwa al-Qur’an bersifat qath’i al-wurud serta dijaga keotentikannya oleh Allah.

 

Dilihat dari periwayatannya, hadis berbeda dengan al-Qur’an. Bila al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir, hadis tidaklah demikian. Karena hadis lebih banyak diriwayatkan secara ahad dan sedikit sekali hadis yang diriwayatkan secara mutawatir.

Oleh sebab itu, hadis bersifat zhanni al-wurud. Dikarenakan hadis bersifat zhanni al-wurud, maka penelitian terhadap hadis sangatlah diperlukan. Sebab hadis sampai kepada umat Islam hingga saat dikodifikasikannya melalui periwayatan yang panjang, mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan seterusnya hingga sampai ke tangan mukharij.

 

Sehingga didapati hadis yang sebenarnya mempunyai tema yang sama, didapati dalam beberapa versi yang berbeda dan isinya pun terdapat perbedaan atau bahkan bertentangan.

Untuk memahami suatu hadis diperlukan seperangkat hal. Misalnya pengetahuan bahasa Arab, situasi dan kondisi hadis yang berkaitan dengan munculnya suatu hadis dan keadaan sosial budaya pada saat itu. Seperti dalam memahami hadis mengenai larangan wanita menjadi pemimpin.

Bunyi hadisnya yaitu:

حدثنآ عثمآن بن الهيثم حدثنآ عوف عن الحسن عن أبي بكرة قآل :لقد تفعني الله بكلمة أيآم الجمل لمآ بلغ النبي صل الله عليه وسلم ان فآرسآ ملكو ابنه كسرى قآل: لن يفلح قوم ولو أمرهم امرأة(روآه البخآرى)

“Telah bercerita kepada kami Ustman bin al-Haitsan, telah bercerita kepada kami ‘Auf dari al-Hasan dari Abu Barkah berkata : “Sungguh Allah memberi manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat pada hari (perang) Jamal. Tatkala Nabi mendengar orang-orang Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai pemimpin, maka beliau bersabda : “Tidaklah sekali-kali suatu kaum memperoleh kemakmuran, apabila menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (H.R. Bukhari)

 

Jika dilihat secara tekstual, makna hadis tersebut adalah pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang.

Namun, pendekatan tekstual untuk memahami hadis ini bukan merupakan pembacaan yang objektif. Pada gilirannya, ideal moral atau nash hadis tidak disampaikan dan secara praktis merugikan hak-hak kemanusiaan perempuan. Apalagi ditambah dengan Ayat Suci Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34.

 

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

 

Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S An-Nisa : 34)

 

Untuk memahami hadis diatas tadi, diperlukan pemahaan historis dan kontekstual. Hadis di atas memang dikategorikan hadis shahih, tetapi mempunyai latar belakang sejarah tersendiri (asbab wurud), sehingga tidak bisa serta merta langsung digunakan sebagai dalil umum.

 

PENGERTIAN ASBAB AL-WURUD HADIS

Secara etimologis, asbab al-wurud merupakan susunan idhafat yang berasal dari gabungan kata asbab dan al-wurud.

Kata asbab adalah jama’ dari sabab, yang berarti tali, saluran, yang artinya dijelaskan sebagai “segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya.” Sedangkan al-wurud merupakan bentuk masdar dari kata warada-yaridu-wurudan yang berarti datang, sampai, mengalir, dan muncul.

 

Dengan demikian, asbab al-wurud al-hadis secara sederhana dapat diartikan “sebab-sebab datangnya hadis.” 

Hasbi as-Shiddiqi menyebutkan bahwa asbab al-wurud adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi Saw menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya. 

 

As-Suyuti mengartikan asbab al-wurud sebagai sesuatu yang menjadi cara atau metode untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad serta ada atau tidaknya naskh dalam suatu hadis.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asbab al-wurud hadis ialah sebab-sebab datangnya hadis, baik berupa peristiwa atau keadaan yang terjadi, waktu maupun karena adanya pertanyaan. Sehingga dapat memahami kejelasan hadis baik dari segi umum dan khusus, muthlaq atau muqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya nasakh (penghapusan) dalam suatu hadis.

 

Asbab al-wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam memahami suatu hadis. Karena, biasanya Nabi menyampaikan suatu hadis sangat memperhatikan kondisi serta situasi seseorang yang ditujunya.

Jadi, memperhatikan konteks historitas munculnya suatu hadis sangatlah penting. Karena, dapat menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Sehingga tidak terjebak pada teksnya saja. Sementara konteksnya terabaikan. Pemahaman hadis yang mengabaikan aspek asbab al-wurud maka akan terkesan kaku, bahkan kurang sesuai dengan perkembangan zaman.

 

ASBAB AL-WURUD HADIS MENGENAI LARANGAN WANITA MENJADI PEMIMPIN

Hadits tentang larangan wanita menjadi pemimpin.

 

 حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً » 

 

Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari perang jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka, ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. (HR Bukhari)

 

Menurut tradisi yang belangsung di Persia sebelum itu, yang diangkat menjadi kepala Negara adalah seorang laki-laki. Namun, yang terjadi pada tahun 9 H itu menyalahi tradisi tersebut.

Yang diangkat sebagai kepala Negara bukan seorag laki-laki, melainkan seorang wanita, yakni Buwaran binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu (kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepala Negara.

 

Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak laki-lakinya, yakni saudara laki-laki Buwaran telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan. Karenanya, Buwaran lalu dinobatkan sebagai ratu (kisra).

Kakek Buwaran adalah kisra bin Barwaiz bin Anusyirwan. Dia pernah dikirimi surat ajakan memeluk Islam oleh Nabi Muhammad. Kisra menolak ajakan itu.

 

Kemudian merobek-robek surat nabi. Ketika nabi menerima laporan bahwa surat beliau telah dirobek-robek oleh kisra, maka nabi lalu bersabda bahwa siapa saja yang telah merobek-robek surat beliau, dirobek-robek diri dan kerajaan orang itu.

Tidak berselang lama, kerajaan Persia lalu dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat kepala Negara.

 

Pada waktu itu derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah derajat kaum laki-laki. Wanita tidak dipercaya sama sekali untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, lebih-lebih dalam masyarakat kenegaraan.

Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan masyarakat dan Negara. Keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Persia saja, tetapi juga di Jazirah Arab dan lain-lain.

 

Dalam kondisi kerajaan Persia dan masyarakat seperti itu, maka Nabi yan memiliki kearifan tinggi menyatakan bahwa bangsa yang yang menyerahkan masalah-masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) mereka kepada wanita tidak akan sukses(menang).

Sebab, bagaimana mungkin bisa sukses, kalau orang yang memimpin itu adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang dipimpinnya.

 

Berkaitan dengan hadis kepemimpinan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Nabi SAW saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu.

Tetapi harus dipahami bahwa pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat hadis tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.

               

Dengan demikian, hadis tentang pernyataan Nabi SAW dalam merespon berita pengangkatan Kisra sebagai pemimpin Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan kepala negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi SAW yang memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan. 

Pertama, boleh jadi sabda Nabi SAW tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam,sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi SAW oleh Kisra Persia. 

 

Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.

 

PENDAPAT ULAMA MENGENAI HADIS LARANGAN WANITA MENJADI PEMIMPIN

Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan secara tekstual. Mereka berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis, pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang.

Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa perempuan menurut syari’at hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya.

 

Oleh karenanya, al-Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah. Demikian pula al-Syaukani dalam menafsirkan hadis tersebut berpendapat bahwa perempuan itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepala negara.

Sementara itu, para ulama lainnya seperti Ibn Hazm, al-Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn AbiHammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki-laki sebagai kepala negara. Bahkan Sayyid Sabiq mensiyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai syarat laki-laki ini bagi kepala negara sebagaimana syarat bagi seorang qadi, karena didasarkan pada hadis seperti tersebut sebelumnya.

 

Menurut Fatima Mernissi, hadis ini merupakan hadis historis. Maksud hadis historis adalah hadis yang memiliki asbab al-wurud atau didahului dengan adanya peristiwa yang unik. Hadis historis harus dipahami secara historis pula.

Sebab, hadis historis selalu memiliki makna dalam konteks historisnya. Untuk memahami konteks hadis tersebut kita dapat mulai melalui penelusuran jalur persinggungan antara awal rawi dengan matan hadis. Dalam silsilah atau rangkaian sanad hadis diperoleh informasi bahwa hadis ini berasal dari satu sandaran.

 

Dengan kata lain hadis ini termasuk hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mencapai batas-batas hadis mutawatir. Validitas hadis ahad berbeda dengan hadis mutawatir yang sudah pasti sahih.

Hadis ahad masih membutuhkan pembuktian atau kritik hadis sampai diperoleh kesimpulan apakah sahih (valid) atau d’aif (lemah).

 

Hadis ini pada tingkat sahabat disandarkan kepada sahabat Abu Barkah, salah seorang mantan budak yang dihadapkan oleh suatu kondisi sulit, ia harus memilih antara mendukung Ali, Khalifah ke empat, suami Fatimah anak kesayangan Nabi, atau mendukung A’isyah, istri kesayangan Nabi, putri Abu Bakar, khalifah pertama. Dalam posisi ini Abu Barkah mempopulerkan hadis di atas karena ia berpihak kepada Ali.

Hal ini bermula dari kekalahan yang dialami A’isyah dalam Perang Jamal. Sekitar 13.000 pendukungnya meninggal di medan perang. Sebagai pemenang, Ali mengambil alih Kota Basrah dan bagi yang tidak bergabung dengan kelompok Ali harus mencari alasan yang dapat diterima jika ingin tetap tinggal di Basrah.

 

Di sisi lain pihak A’isyah mencoba menggalang kekuatan baru dengan menghubungi para sahabat yang ada di Basrah, salah satunya adalah sahabat Abu Bakrah.

Banyak sahabat yang dihubungi A’isyah akhirnya menolak ajakan tersebut. Alasan mereka, perang antar umat Islam hanya akan memecah belah umat dan menjadikan mereka saling bermusuhan. Namun, alasan penolakan Abu Bakrah lain. Abu Bakrah menolak ajakan A’isyah dengan menyebutkan sabda Nabi tersebut.

 

Menurut Fatima Mernissi, penyampaian Abu Bakrah bersamaan dengan kondisi kritis A’isyah memiliki muatan politis yang signifikan.

Dengan kata lain hadis ini menjadi alat untuk mengambil hati pihak penguasa. Padahal Mernissi membuktikan secara empiris bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin. Para pemimpin ini dihimpun Mernissi dalam bukunya The Forgotten Queens of Islam (Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan).

 

Menurut Gus Dur, untuk mengkaji dan memahami sebuah hadis, mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadian yang melingkupi teks hadis tersebut.

Jauh pada masa sebelum hadis tersebut muncul, yaitu saat Rsulullah SAW berdakwah ke berbagai daerah, ia pernah berkirim surat kepada para pembesar negeri lain untuk memeluk Islam. Diantaranya adalah kepada Raja Kisra di Persia.

 

Setelah menerima surat itu, Kisra merobek-robek surat Rasulullah tersebut. Rasulullah begitu menerima laporan dari Hudzaifah bahwa suratnya dirobek-robek, bersabda: “Siapa saja yang merobek-robek surat saya, diri dan kerajaan orang itu akan dirobek-robek,” (HR. Ibn Musayab). 

Tak lama kemudian, Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan di dalam keluarga kerajaan akibat suksesi kepemimpinan. Diangkatlah puteri Buwaran binti Syairawaih ibn Kisra sebagai Ratu menggantikan ayahnya yang meninggal dan saudara laki-lakinya yang terbunuh. 

 

Sementara tradisi masyarakat Persia pada waktu itu, jabatan sebagai kepala negara atau raja selalu dipegang kaum laki-laki, dan perempuan sama sekali tidak diizinkan untuk turut serta mengurus kepentingan masyarakat umum.

Jadi, bagaimana mungkin Putri Buwaran bisa sukses menjadi pemimpin bila keadaan tradisi masyarakatnya seperti itu.

 

KONTEKSTUALISASI HADIS MENGENAI LARANGAN WANITA MENJADI PEMIMPIN

Menurut Edi Safri, kontekstualisasi hadis ialah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya atau dengan kata lain memperhatikan dan mengkaji konteksnya. 

Hadis mengenai larangan wanita menjadi pemimpin tersebut semestinya dipahami secara kontekstual. Yaitu dengan cara memahami bagaimana hadist tersebut keluar.

 

Antara lain memahami kondisi masyarakat dan sistem politik pada waktu itu. Sehingga hadist tersebut dapat diterapkan pada situasi yang diinginkan Nabi Muhammad dan ditinggalkan pada kondisi yang berbeda.

Jika dipahami secara tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi antara antara hak laki-laki dan perempuan, secara konteks saat itu, secara sosiologis wanita kurang dihargai dan memperoleh hak-haknya, bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah atas tradisi yang melekat dari bangsa Arab saat itu. Sehingga hadis tersebut dapat dikategorikan sebagai hadis misogini.

 

Dari paparan di atas, hingga saat ini beberapa pemikir juga tetap banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya. 

Selanjutnya dalam menganalisis hadist ini, penulis mengadopsi pendapat Imam al-Ghazali, ketika Nabi mengucapkan hadist tersebut pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya makin menyempit.

 

Dari pernyataan al-Ghazali tersebut, memberikan isyarat bahwa perempuan tidak diserahi tugas sebagai pemimpin oleh Nabi adalah perempuan yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan, baik dilihat dari segi kepakaran maupun dari segi budaya setempat.

 Jadi, hadis tersebut tidak bisa dijadikan alasan penolakan untuk menjadikan perempuan sebagai pemimpin.

 

Menurut Imam al-Ghazali, perempuan boleh mengerjakan pekerjaan diluar rumah seperti menjadi pemimpin, hakim, dan sebagainya, namun tetap diingatkan bahwa tugas utama perempuan adalah dalam rumah tangganya dan dapat melaksanakan kewajiban tersebut terlebih dahulu dan diliputi rasa ketaqwaan.

Artinya syarat menjadi pemimpin tidak harus seorang laki-laki. Bahkan dalam al-Qur`an pun dijumpai kisah tentang adanya seorang perempuan yang memimpin negara dan meraih sukses besar, yaitu Ratu Bilqis di negeri Sabaâ sebagaimana firman Allah:

إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ 

 

Artinya: "Sesungguhnya aku (Hud) menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar."(QS.Annaml:23)

Analisis dan kesimpulan seperti ini juga diperkuat dengan tidak diketemukannya sebuah hadis pun yang secara jelas (eksplisit) mensyaratkan pemimpin harus laki-laki.

 

Ini berarti hadis di atas harus dipahami secara kontekstual karena memiliki sifat temporal, tidak universal. Hadis tersebut hanya mengungkap fakta yang nyata tentang kondisi sosial pada saat hadis itu terjadi dan berlaku utnuk kasus negara Persia saja.

Meski hadis larangan kepempimpinan politik perempuan dinilai sahih, ternyata masih dapat didiskusikan. Di kalangan ulama ada yang tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah perempuan dan politik.

 

Tetapi banyak juga yang menggunakan hadis tersebut sebagai argumen untuk menggusur perempuan dari proses pengambilan keputusan.

Jika ditelaah lebih lanjut, maka hadis tersebut mengandung pengertian bayan al-waqi’ atau pengungkapan fakta realitas yang berkembang pada saat itu, dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah ketentuan syari’at bahwa syarat pemimpin harus laki-laki.

 

Fakta sejarah membuktikan bahwa di Indonesia masa lalu, perempuan Indonesia juga berkesempatan dan berpeluang memegang jabatan kekuasaan sebagai kepala Negara, dan berperan aktif dalam berbagai aspek sosial kemasyarakatan, baik sosial, ekonomi, sosial budaya, maupun politik.

Bahkan memanggul senjata dalam bidang militer tanpa harus meninggalkan perannya di ruang domestik. Sumber tertua yang bisa diperoleh dari sejarah Indonesia adalah: 

 

1. Di Jawa Timur, kerajaan Majapahit pernah diperintah oleh Ratu selama 22 tahun, yaitu ketika Raja Jayanegara meninggal pada tahun 1328, karena tidak dikaruniai seorang anak pun, maka raja mengangkat adik perempuannya untuk menggantikan kedudukannya.

Dialah yang dikenal dengan Ratu Tribuana Tunggadewi Jaya Wisnu Wardani. Setelah memerintah 22 tahun, yaitu pada tahun 1350, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. 

 

2. Pada masa perkembangan Islam, di Jawa juga terkenal seorang pemimpin perempuan yang berkuasa di wilayah Jepara, tepatnya di Kalinyamat, daerah kekuasaan kesultanan Demak.

Ialah Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah salah satu puteri Sultan Trenggono, Sultan Demak, yang memerintah pada 1504-1546 M. Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara diceritakan sebagai negeri yang sangat aman, makmur, adil, dan rakyatnya hidup sejahtera. 

 

3. Di Sumatera, tepatnya di Aceh, perempuan cukup banyak berperan di ruang publik atau yang dianggap sebagai dunianya kaum laki-laki. Salah satunya Cut Nyak Dien yang turut andil dalam peperangan melawan Belanda. Kemudian ada juga Pocut Baren, Cut Nyak Meutia, juga Pocut Baren yang selalu mendampingi Cut Nyak Dien.

Kemudian kerajaan Aceh memiliki armada laut sekitar 100 kapal perang dan salah satu komandannya adalah seorang perempuan dan berpangkat Admiral, beliau ialah Laksamana Keumala Hayati.

 

Beliau mencatat prestasi yang gemilang, pada tahun 1599 ia berhasil mengalahkan dua buah kapal Belanda yang dipimpin Cornelis dan Fredirick de Houtman.

Di Sulawesi Selatan, kerajaan Islam Abad XIX ini, juga pernah dipimpin oleh seorang penguasa perempuan, yaitu Siti Aisyah We Tenriolle yang berkuasa di Kerajaan Ternate pada tahun 1856, bahkan menguasai kerajaan Bugis.

 

Dari fakta-fakta sejarah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dasarnya perempuan dan laki-laki adalah sama. Yaitu sama-sama memiliki potensi dan kecerdasan, keinginan, dan cita-cita, impian, dan harapan, juga rasa khawatir, dan kecemasan.

Dengan kecerdasan ilmu pengetahuan yang diperoleh perempuan, dia tidak hanya mampu berperan sebagai ibu dari anak-anak atau istri yang hanya berkutat di ranah domestik. Akan tetapi, mereka juga mempunyai potensi dan dituntut untuk terus dikembangkan.

 

Kesimpulan

Berkaitan dengan hadis kepemimpinan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa Nabi SAW saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu.

Tetapi harus dipahami bahwa pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi') pada saat hadis tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.

 

Dengan demikian, hadis tentang pernyataan Nabi SAW dalam kepemimpinan perempuan tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar’i kepala negara; namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi SAW yang memberikan peluang adanya 2 (dua) kemungkinan.

Pertama, boleh jadi sabda Nabi SAW tersebut merupakan do'a agar pemimpin sukses dan sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima kabar tentang dirobeknya surat Nabi SAW oleh Kisra Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat Nabi SAW yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat yang pada saat itu.

 

Maka, untuk memahami hadis ini tidak dengan cara hanya melihat teksnya saja, namun harus melihat konteksnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita boleh dan berhak menjadi pemimpin asalkan mempunyai syarat yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

Imam al-Ghozali juga menambahkan, wanita dapat menjadi seorang pemimpin asalkan ia tidak melupakan kewajibannya terhadap rumah-tangga.

Selain itu, dilihat dari kondisi sekarang bahwa perbandingan banyaknya wanita dan pria ternyata wanita jauh lebih banyak daripada pria, sehingga tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang akan banyak wanita yang menjadi pemimpin.

 

Referensi

Shalih, Subhi. 1977. Ulumul Hadis wa Musthalahu. Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 

Ash-Shiddieqie, Hasbi. 1987. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid. Jakarta: Bulan Bintang

Munawwar, Said Agil Husin dan Mustaqin, Abdul. 2001. Asbabul Wurud study kritis hadits nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual. Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar.

Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press

Al-Bukhari. Tth. Al-Jami’ al-Shahih (Shahih Bukhari). Beirut: Dar al-Fikr.

Ismail, Syuhudi. 2009. Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadist Tentang ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang

Aw, Liliek Channa. 2011. Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual, Jurnal Ulumuna Vol. 15 No. 2 Desember 2011 

Al-Asqolani, Ibnu Hajar. Tth. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Ttp: Dar al-Fikr

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: https://radarbengkulu.disway.id