Ia menyoroti fokus Pemerintah Bengkulu terhadap program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yang memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat yang tidak terlibat dalam konflik. Menurut kajian WALHI Bengkulu, dari luas Hak Guna Usaha (HGU) mencapai 214 ribu hektar dengan komoditas seperti kelapa sawit dan karet, sebagian besar lahan yang dikelola oleh masyarakat telah ditinggalkan oleh perusahaan. Bahkan sebelum perusahaan hadir, masyarakat telah mengelola dan menguasai lahan tersebut secara turun temurun.
Ritonga menilai ATR/BPN harus memiliki kewenangan untuk menetapkan status lahan yang ditelantarkan oleh perusahaan agar bisa dimanfaatkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
“WALHI Bengkulu menilai bahwa Reforma Agraria Sejati harus segera dilakukan di Bengkulu dan memastikan segera melakukan restrukturisasi penguasaan ruang yang berkeadilan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat dan untuk memastikan keadilan antar generasi ke depan,” tambahnya.
WALHI Bengkulu mempertanyakan integrasi penyelesaian konflik agraria ke dalam rencana pembangunan atau rencana kerja pemerintah di Provinsi Bengkulu. Mereka menekankan bahwa skema penyelesaian konflik agraria bisa didorong melalui redistribusi dan legalisasi aset untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat Bengkulu.