Kedua, syukur, yaitu menyandarkan segala nikmat itu kepada Sang Pemberi Nikmat, yaitu Allah SWT dengan sikap rendah diri. Seseorang baru disebut bersyukur manakala memberikan hak-hak orang lain dari harta yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Dapat dicontohkan, dari gaji dan pendapatan lain yang diperoleh dalam sebulan dikeluarkan minimum 2,5 persen kepada para mustahiq sebagai bagian dari zakat dan shadaqah kita.
Ketiga, syakur, yaitu orang-orang yang tidak hanya mensyukuri kenikmatan, kebahagiaan, dan keberuntungan, tetapi juga mensyukuri segala bentuk musibah, penderitaan, malapetaka, dan kekecewaan yang melanda dirinya.
Segala bentuk penderitaan dan kemalangan dianggapnya sebagai “surat cinta” Tuhan. Sekian lama ia dipanggil Tuhan dengan kenikmatan dan kebahagiaan tetapi tidak menyadarinya, bahkan terkadang mabuk dengan kemewahan dan kenikmatan hidup.
Nama Tuhan yang disebut ketika dalam keadaan bahagia dan senang tidak seakrab dan sedalam ketika di dalam suasana kepedihan dan penderitaan.
Tahmid dan syukur banyak dilakukan orang, lebih banyak lagi yang tidak bertahmid dan tidak bersyukur. Sedangkan ke level syakur amat terbatas orang yang bisa sampai ke sana.
Allah SWT juga menyatakan: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima kasih. (Q.S. Saba’/34:13).
Syakur sebagai tingkat kesyukuran paling tinggi, dambaan semua orang. Betapa tidak, orang yang sudah sampai di tingkatan ini dadanya akan lapang, selapang dengan samudra, sehingga betapapun banyak kotoran mengalir dari sungai tidak akan pernah bisa merubah warna air samudra.
Melalui ibadah puasa Ramadhan diharapkan minimal dapat membentuk kepribadian predikat syukur hingga syakur.
Ma’asyiral Muslimin jamaah shalat Idul Fitri rahimakumullah
Sebagai bagian dalam merawat kemabruran puasa Ramadhan yang lain adalah melahirkan sikap mukhlas dalam kehidupan nyata. Kata mukhlish (مُخْلِصٌ) dan mukhlash ( مُخْلَص ) berasal dari akar kata akhlasha-yukhlishu yang berarti tulus, jujur, jernih, bersih, dan murni.