Pemilu Yang Bernuansa Ibadah dan Terhindar dari Maksiat

Pemilu Yang Bernuansa Ibadah dan Terhindar dari Maksiat

H.M. Ihsan Nasution, SH-Adam-radarbengkulu

Ma’asiral muslimin rohimakumulloh

 

Menurut jumhur ulama, membentuk negara, menyelenggarakan pemerintahan, dan mengangkat kepala negara adalah wajib kifayah.

Beberapa alasan yang mendasari hal tersebut adalah dalam rangka melanjutkan kepemimpinan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW, menghindari bahaya dan mencegah kemudharatan, serta melaksanakan berbagai kewajiban dan mewujudkan keadilan yang sempurna dengan adanya pemerintahan yang adil.

 

 Mempertimbangkan bahwa Pemilu merupakan momentum sekaligus upaya untuk menegakkan kekuasaan ideal yang akan memperjuangkan kepentingan umat, maka penting halnya untuk berpartisipasi aktif di dalamnya.

Dengan demikian, turut serta dalam Pemilu dapat dikategorikan wajib. karena ia menjadi sarana untuk menegakkan yang wajib, yaitu memilih pemimpin.

 

Sebagaimana kaidah fiqh: “Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya menjadi wajib.”

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan fatwa atas wajibnya memilih pemimpin dalam Pemilu. Hal ini tertuang dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Padang Panjang pada 26 Januari 2009 / 29 Muharram 1430 H, yang menyatakan sebagai berikut :

 

1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan Imamah dan Imarah dalam kehidupan Bersama.

 

3. Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat;

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: radarbengkulu